cakrawala
Selamat datang di ruang ulasan puisi Kedai Estetik (kelas kajian puisi angkatan 2009 Universitas Haluoleo)

RAUDAL TANJUNG BANUA MENGENANG RENDRA DI KRATON BUTON

Oleh :ITA MEIARNI (A1D1 09 029)
penyunting: La Ode Gusman Nasiru

Takjub. Satu kata itu seperti tidak cukup mewakili deretan kalimat yang hendak saya utarakan demi membaca berbagai karya sastra (baca: puisi) yang tersebar dalam berbagai media massa saat ini.. Betapa tidak, coba Anda bayangkan, beragam tema, amanat, gaya bahasa, dan unsur-unsur kepuisian lainnya mampu diramu menjadi satu bentuk karya yang tidak sebatas indah tetapi juga memberi kesan mendalam terhadap pembaca. Tentunya, penilaian di atas berdasar kepada pengetahuan sedikit saya mengenai puisi.
Selalu menjadi bahan pemikiran saya menyangkut apa yang ingin mereka (penyair) sampaikan sehingga mesti menuangkan ragam ide dan gagasan dalam bentuk puisi. Tetapi kemudian saya membuat semacam satu simpulan sederhana tentang hal tersebut bahwa inilah keistimewaan puisi sebagai bagian dari karya sastra. Keistimewaan tersebut ialah kecenderungan perbedaan interpretasi antara penyair sebagai penulis objek dan pembaca sebagai penikmat objek. Secara sederhana saya paparkan bahwa terkadang di satu sisi penyair ingin berbicara mengenai konsep X dalam puisinya sementara pada sisi lain pembaca memiliki pemahaman yang tidak selajur dengan maksud awal pembuatan puisi. Ini tentu bukan sesuatu yang ironi dan wajib untuk dimafhumkan sebab hal tersebut justru memperkaya eksistensi puisi sebagai bagian dari karya sastra. Ingat, karya sastra merupakan dunia perpaduan antara imajinasi dan kenyataan, sehingga jangan salahkan jika unsur imaji dan kenyataan penulis tidak selalu sama dengan apa yang dimaknai oleh pembaca. Namun demikian, satu hal yang mesti dipahami bahwa pembaca bebas memaknai puisi sepanjang upaya memberi makna pada puisi masih berada pada zona limit interpretasi atau kewajaran dan kelogisan pemaknaan.
Raudal Tanjung Banua, di mata saya, memiliki satu keunggulan dan gaya khas tentang cara menuangkan gagasan ke dalam bentuk puisi. Dengan keunggulan dan gaya khas tersebut, Raudal mampu memikat hati saya sebab ia menciptakan metafora-metafora kalimat yang segar dan tersusun rapi dalam larik demi larik puisinya. Tentu saja kesan kagum menghiasi hati saya ketika membaca sajak-sajak itu. Dalam sajak itu Raudal mampu menghadirkan sosok pribadi yang termanifestasi menjadi sebuah kenangan dan menempati satu dimensi ruang seperti halnya yang terlihat dalam puisi berjudul “Mengenang Rendra di Kraton Buton”.
Begitu penting dan berartikah sosok Rendra bagi penyair kelahiran Lansono itu sehingga membuatnya mampu mencipta puisi kenangan untuk Si Burung Merak? Pada akhirnya, saya juga terpacu untuk menelusuri puisi ini. Saya rasa hal ini bukan sesuatu yang tidak penting. Berdasarkan redaksi keseluruhan puisi Raudal, kita dapat melihat sosok Rendra yang tak mudah goyah dalam kancah kepenyairan di tanah air. Rendra—masih berdasarkan deskripsi Raudal— adalah seorang penyair yang mampu mempertahankan egonya terhadap karya-karya yang telah diciptakannya, seperti karya-karyanya yang bersifat religius, nasionalisme, ataupun patriotisme. Hingga menjelang akhir hayatnya, lelaki yang bernama depan Wilibradus itu masih tetap semangat dalam melakukan perbincangan dengan tim rumah lebah ruang puisi tentang sastra.
Saya pikir, ketegasan dan kekokohan Rendra itulah yang memotivasi Raudal untuk menorehkan penanya dalam bentuk puisi dengan judul “Mengenang Rendra di Kraton Buton”.
Kiranya tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa Raudal adalah penyair yang ‘telah memiliki nama’ sehingga menghasilkan karya-karya yang banyak diminati oleh penikmat sastra. Saya pun demikian, sebagai penikmat juga sangat mengapresiasi karya-karya pria kelahiran 19 Januari 1975 itu. Salah satu puisi yang membuat saya tertegun ialah Mengenang Rendra di Kraton Buton sebab puisi ini diciptakan satu bulan setelah meninggalnya W.S. Rendra. Hal demikian kembali menimbul pertanyaan dalam benak saya, sebenarnya apa yang ada dalam puisi itu? Untuk menjawab keresahan saya itu, ada baiknya jika terlebih dahulu kita lihat sajak Raudal teranalisis.

Benteng yang kokoh akhirnya
akan tegak dalam kesunyian
Istana yang sederhana
akhirnya ditinggalkan
Masjid dan tiang bendera
meriam dan pintu-pintu,
Kapal-kapal, pelabuhan serta mercu
di laut jauh
semua bergerak meninggalkanmu…
Tidak. Sebagian masih tegak
berjaga, di bagian mana dirimu
Kubayangkan menjelma jadi dinding batu
Keras dan tabah menghimpun
segala yang bersisa
jadi milikmu, jadi milik delapan kanak-kanak
yang matanya setajam mata jangkar tua
di pelataran-mata yang memiliki tatapanmu,
dan akhirnya menjadi milik sang waktu!

Pada larik benteng yang kokoh akhirnya/ akan tegak dalam kesunyian/ istana yang sederhana/ akhirnya ditinggalkan/ menunjukkan bahwa walau sekuat atau sekokoh apapun sesuatu akhirnya tetap akan tumbang. Pada bagian ini penyair berdarah Sumatra tersebut mengibaratkan Rendra seperti benteng yang kokoh. Satu pertanyaan kemudian berputar-putar dalam batok kepala saya. Apakah tidak salah jika Rendra diibaratkan seperti itu? Tapi mengapa harus salah? Kekokohan Rendra dalam kancah kepenyairan sama halnya dengan benteng yang kokoh yang tidak mudah goyah. Namun sekokoh apapun Rendra, pasti akhirnya ’tumbang’. Ketidakbertahannya itu ditandai dengan kepergiannya meninggalkan dunia.
Pernyataan di atas didukung oleh baris istana yang sederhana/akhirnya ditinggalkan/. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada akhirnya dunia akan ditinggalkan, sekokoh apapun kita (pernah) berdiri dan (pernah) berjaya di atasnya.

Masjid dan tiang bendera
meriam dan pintu-pintu,
Kapal-kapal, pelabuhan serta mercu
di laut jauh
semua bergerak meninggalkanmu…

Saya rasa, Raudal sangat pandai mengaitkan kehidupan dunia Rendra dengan simbol-simbol atas objek yang ada di dunia. Perhatikan larik-larik di atas, benda-benda yang dikemukakan benar-benar menggambarkan kehidupan kepenyairan Rendra. Masjid dan tiang bendera/ meriam dan pintu-pintu/ ini menunjukkan bahwa dalam kepenyairannya, Rendra memiliki sikap adaptatif yang baik sehingga dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang ada. Kata “masjid” dapat menggambarkan kepenyairan yang religius, “tiang bendera” dapat menggambarkan kepenyairan yang bersifat nasionalisme, kemudian “meriam dan pintu-pintu” ini dapat melukiskan kepenyairan dengan jiwa patriotisme di dalamnya. Jadi, sangat jelas upaya penggambaran kehidupan Rendra dalam syair Raudal ini.
Kalau alinea terdahulu menjelaskan tentang kehidupan Rendra dalam hubungan dengan simbol-simbol yang dibuat penyair, bagian ini akan memaparkan relasi kepergian Si Burung Merak dengan konten puisi Raudal. Perhatikan larik kapal-kapal, pelabuhan serta mercu/ di laut jauh/ semua bergerak meninggalkanmu…/. Larik-larik tersebut berupaya menguatkan bahwa semua itu (dalam konteks keduniawian) berpisah dengan diri objek cerita. Maksud larik-larik itu kemudian diperkuat lagi pada klausa semua bergerak meninggalkanmu…/. Artinya, Rendra serta-merta melepaskan hidup dan kehidupannya, yang di dalamnya tentu terkandung hal-hal kepenyairan dan kebesaran namanya dalam dunia kesusastraan. Dalam kasus ini, satu hal yang ingin saya utarakan ialah: Rendra meninggal sedangkan karya-karyanya harus ia tingalkan. Ya, ia telah pergi, dan karya-karyanya hanya menjadi sejarah yang dinikmati.

Tidak. Sebagian masih tegak
berjaga, di bagian mana dirimu
Kubayangkan menjelma jadi dinding batu
Keras dan tabah menghimpun
segala yang bersisa
jadi milikmu, jadi milik delapan kanak-kanak
yang matanya etajam mata jangkar tua
di pelataran-mata yang memiliki tatapanmu,
dan akhirnya menjadi milik sang waktu!

Hal lain yang membuat saya tertarik menganalis puisi Raudal ialah ada bagian-bagian yang menggelitik pemikiran saya untuk menyelesaikan pembacaan terhadap puisinya. Pada bagian awal, penyari telah mengatakan bahwa Rendra dan karyanya telah melakukan satu bentuk saling ’tinggal-meninggalkan’. Akan tetapi, redaksi puisi berikutnya justru hadir satu bentuk pengingkaran atau penolakan atas hal terdahulu. Penolakan yang sangat tegas pada larik ini ialah kata tidak. Dilanjutkan kemudian oleh sebagian masih tegak/ berjaga, di bagian mana dirimu/. Kutipan larik di atas mempertegas bentuk pengingkaran yang saya maksud sebelumnya. Raudal ingin menyatakan bahwa meskipun Rendra telah pergi, kita tetap dapat menikmati kekayaan pemikiran dan hasil kreatifitasnya lewat karya-karya peninggalannya.
Penjelasan di bawah ini difokuskan pada bentuk kesedihan penyair sekaligus pembaca sebagai akibat dari sebuah kehilangan. kubayangkan menjelma jadi dinding batu/ keras dan tabah menghimpun/ segala yang bersisa/. Larik tersebut jelas menyodorkan efek kesungguhan rasa kehilangan yang luar biasa, sehingga harus dihadirkan kubayangkan menjelma menjadi dinding batu/ sebagai suatu “pembayaran” dan “penebusan” atas suatu kehilangan dan kepergian. Kedua hal terkutip di atas dilukiskan sebagai satu bentuk pembayangan untuk menjelmakan kembali Rendra dalam wujud yang kokoh dan tangguh seperti dinding batu yang menghimpun dan merangkul segala yang bersisa.
Pemaparan yang berkaitan dengan kehilangan kembali dimunculkan pada empat larik terakhir puisi ini, yaitu jadi milikmu, jadi milik delapan kanak-kanak/ yang matanya setajam mata jangkar tua/ di pelataran-mata yang memiliki tatapanmu/ dan akhirnya menjadi milik sang waktu!/. Sungguh W.S. Rendra adalah seorang yang sangat berarti dalam dunia kepenyairan tanah air sehingga pantas menjadi tolok/alat ukur atau motivator bagi kaum muda. Hal itu diimajikan dengan kanak-kanak yang matanya setajam mata jangkar tua. Dengan demikian, kita mendapat konsep akan begitu besar pengharapan Raudal terhadap kaum muda dalam menatap perkembangan persajakan di negeri ini. Pengimajian yang menjadi batu pijak pernyataan itu ialah setajam mata jangkar tua/. Maksudnya, orang-orang muda saat ini sebaiknya memiliki pandangan dan pengetahuan tentang dunia kesastraan, sebab kita tahu bahwa sastra selain sebagai sarana hiburan juga dapat memperhalus budi para penikmatnya. Hal yang menjadi penegasan pada bagian ini ialah penyair ingin agar orang-orang muda/penikmat sastra memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap lingkungan sosialnya sehingga membawa mereka memasuki arah positif. Salah satu cara untuk memenuhi dan mencapai berbagai harapan penyari di atas ialah dengan bercermin pada Rendra sebagai objek dalam hubungannya dengan realitas sosial di sekitarnya.
Ada larik dalam puisi berlatar Keraton Buton di atas yang saya anggap benar-benar menyesakkan rasa dan batin. Perhatikan larik mata yang memiliki tatapanmu,/ dan akhirnya menjadi milik sang waktu/. Penyair berkaca mata itu mengakhiri puisinya dengan memanfaatkan satu lapis metafisika (penegasan tentang kepergian dan kehilangan) yang amat mendalam sehingga Rendra hanya mampu hidup dalam kenangan di kepala saya.
Penyair yang lahir di Lasono, Kenagarian Taratak, Sumbar ini, dalam larik demi larik puisinya tidak terus terang menyatakan apa yang dimaksud, melainkan sering dengan menggunakan simbol-simbol atau ketidaklangsungan pengungkapan. Penggunaan simbol ditujukan untuk mendapatkan tenaga puisi hingga terasa benar kehadiran apa yang ingin diungkapkan. Penggunaan tanda-tanda tersebut juga berpotensi menimbulkan ketegangan puisi dan memperjelas maksud, hingga keadaan dalam puisi benar-benar memisahkan karya sastra dengan keseharian. Keadaan itu oleh Subagio Sastrowardojo disebut sebagai jarak estetika (esthetic distance). Jarak estetika ini selalu terdapat dalam tiap-tiap karya sastra, kian jauh jarak estetika kian terasa ketegangan puisi.
Ketidaklangsungan itu terlihat dalam larik pertama puisinya benteng yang kokoh akhirnya/ akan tegak dalam kesunyian/. Pernyataan itu memang cenderung lebih abstrak daripada dikatakan secara konkret seperti ini: benteng yang kokoh akhirnya akan berada dalam keruntuhan, atau langsung pada maksud seperti ini: sehebat-hebatnya penyair pasti akan menemui akhir. Dengan pernyataan yang langsung seperti demikian , larik puisi menjadi tidak menarik. Lagi pula larik-larik puisi memerlukan pemadatan makna seperti kata Ralph Waldo Emerson bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin. Pemadatan tersebut dapat dicapai dengan penggunaan kata-kata yang sugestif dan konotatif.
Dalam larik di atas saya sempat berpikir mengapa harus menggunakan kata ‘akhirnya’, mengapa tidak diganti dengan kata ‘pasti’. Bukankah pasti itu suatu yang sudah terang akan terjadi. Tetapi setelah ditafsirkan lebih mendalam ternyata penggunaan kata akhirnya mengandung unsur-unsur religius, yang akan membutkikan satu kesadaran kesadaran bahwa semua akan kembali. Jadi, kata ‘akhirnya’ mengandung makna yang lebih kuat daripada kata ‘pasti’.
Selanjutnya pada larik 5—8, ada lirik yang berbunyi masjid dan tiang bendera/ meriam dan pintu-pintu/. Kalimat dalam larik ini terasa lebih tepat daripada harus menyatakan secara langsung : karya-karya religius, nasionalisme dan patriotisme semua bergerak meninggalkanmu, meskipun sebenarnya ketiga hal itulah yang ingin dinyatakan oleh penyair. Pada kalimat pertama, Raudal menggambarkan bahwa benar yang ada di dunia telah ditinggalkan. Sedangkan pada kalimat kedua lebih terang menyampaikan maksud yang seolah-olah terfokus pada hal itu saja sehingga tidak menunjukkan nilai estetika dalam puisi—menurut pemikiran sederhana saya.
Saya pikir, pernyataan tidak salam salah satu lirik puisi tersebut akan lebih baik menggunakan pungtuasi tanda seru guna mempertegas penolakan terhadap larik sebelumnya. Berbicara tentang ketepatan konten puisi, pada larik ke-15 jadi milikmu,jadi milik delapan kanak-kanak/ sudah cukup baik penempatannya. Kata kanak-kanak dan anak-anak sesungguhnya—jika sepintas dilihat—memiliki makna yang sama, ialah seseorang yang belum menginjak remaja. Akan tetapi, setelah ditelusuri lebih lanjut ternyata kanak-kanak memang lebih tepat daripada anak-anak karena kanak-kanak lebih mengarah kepada unsur sifat. Jadi lebih bagus pemaknaan dengan menggunakan kata kanak-kanak.
Sebagai penutup saya ingin berkata bahwa penyari berusia 35 tahun itu telah menorehkan buah pikirannya dalam larik demi larik puisinya yang berjudul “Mengenang Rendra di Kraton Buton” dengan pemaknaan luar biasa melalui pendeskripsian sosok W.S. Rendra. Penggambaran sosok penyari nasional tersebut dihadirkan dengan memanfaatkan kombinasi kata yang indah dan kepadatan makna sehingga menumbuhkan kesan estetika yang sangat menarik perhatian penikmat sastra. Jadi, ya, ada rasa kagum tersendiri yang tersimpan dalam lubuk hati saya tentang hal tersebut dan saya rasa perasaan itu akan tetap ter-save dengan baik. Akhirnya, keseluruhan bagian dan makna puisi di atas memberikan kesan yang sangat mendalam dan memotivasi saya untuk tetap semangat dalam berkarya dan terus barusaha memaksimalkan diri dalam berekspresi.
Demikian penafsiran sederhana ini. Semoga berkenan di hati pembaca. Salam.


0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Zona Kendari

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign


Universitas Haluoleo

Kedai Estetik : Berbahasa dengan jujur.

merupakan ruang publikasi Mahasiswa | Program Mata Kuliah kajian Puisi tahun 2010/2011 | Program Studi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan | Universitas Haluoleo | Kendari Sulawesi Tenggara Indonesia.

Recent Comments kedai estetik