cakrawala
Selamat datang di ruang ulasan puisi Kedai Estetik (kelas kajian puisi angkatan 2009 Universitas Haluoleo)

JALAN DI BALIK “BUKIT PASIR SAJADAH YOHANA” KARYA LD. GUSMAN NASIRU

21.35
Oleh: Egan Sumaria (A1D1 09 015)


BUKIT PASIR SAJADAH YOHANA
Karya: LD. Gusman Nasiru

Seperti sayap jibril meranggas meenuhi bukit pasir yang gigil dihujani malapetaka.
Terpintal doa-doa yang terlampau kental sebagian menukil dari ayat kitab berleleran
memenuhi Gaza. Jalur ini membangun terusan air mata dari bahsa jerit kanak-kanan.
Sebagian menepi pada aroma darah. Sebab pembantaian adalah maut yang berlari
disetiap perbatasan siang dan malam.
Tepi barat. Mereka mengirim celaka disetiap ledakan rudal. Melenyapkan kampung
halaman para babi dari peta dunia apa yang lebih keu pahami selain kematian yang
amis disitu mereka telah membangun seribu prasasti depan pintu surga.
Betapapun yag menyeret diri menunjuk angka malam desembeli hak lupa mengiri setitik
harapan disela-sela aroma tangis dan jerit kematian yang telah terduga dan malu ini
kami jinjing di atas kepala memperhatian kepada dunia bahwa kami berhasi terusia
dari kami sendiri.
Jangan lupa menyapa tanah kami disetiap shalat yang kau rancang di atas sajadahmu,
Yohana.
-Ahlan wa sahlan-
03:28 a.m.
23-04-09




Dalam menganalisis puisi karya Laode Gusman Nasiru yang berjudul “Bukit Pasir Sajadah Yohana”. Saya sebagai pembaca sekaligus penyaji pemula awalnya sangat kesulitan dalam memahami makna yang tersirat dalam puisi ini. Tetpi setelah saya membaca secara saksama dan berulang-ulang saya dapat menggambarkan kejadian-kejadian atau fenomena yang terjadi yang dialami pada masa lampau ataupun masa kini.

Setelah membaca puisi secara berulang-ulang saya mencoba memahami judul “ Bukit Pasir Sajadah Yohana”. Untuk memahami judul puisi tersebut, saya berusaha mendapatkan gambaran tentang ciri-ciri dari berbagai macam kemungkinan makna yang dikandungnya. Dari proyeksi berbagai macam kemungkinan makna puisi yang berjudul “Bukit Sajadah Yohana”. Misalnya saya menemukan gambaran makna berikut :
- Gambaran tentang keadaan di negara Palestina yang merupakan kaum muslim yang penuh kehormatan yang terdapat dibagian timur tengah.
- Gambaran tentang di daerah padang pasir mengenai kehidupan dan latar belakang pertempuran yang dilancarkan Israil ke daerah palestina.
- Sebagai akibat dari keadaan tersebut, bagian daerah itu kemungkinan banyak menelan korban jiwa.

Dari proyek makna tersebut, sekarang dapat ditentukan bahwa makna dari judul puisi mengandung makna sesuatu yang tidak berarti.

Sebagai gambaran makna judul maupun gambaran makana secara umum, sekarang saya perlu menetah lebih mendalam. Jalan pertama yang saya tempuh adalah membahas makna setiap larik puisi karya Gusman asiru yang berjudul “ Bukit Pasir Sajadah Yohana”. Pada stanza pertama pemilihan kata yang berbunyi “seperti sayap jibril meranggas memenuhi bukit pasir yang gigil dihujani malapetaka”. Pemilihan kata meranggas dapat diartikan sebagai kesulitan atau juga penderitaan, namun pada kata gigil dapat dimaknai sebagai menjerit-jerit. Jadi pada larik ini jelas penyair menggambarkan suatu keadan warga yang berada di bukit pasir, keadaan disini sangat-sangat memprihatinkan dimana hampir seluruh warga yang tinggal disini menjadi sumber malapetaka.

Kemudian pada larik berikutnya yang berbunyi “ terpintal doa-doa yang terlampau kental, sebagaian menukil dari ayat kitab, berleleran memenuhi Gaza. Penyair menggambarkan bahwa doa sangat berperan penting dalam menghadapi suatu masalah. Doa juga tetap melekat dalam kehidupan mereka, yang mungkin saja tidak terlepas dari ayat kitab bagi kaum muslim. Gaza merupakan negeri yang bersejarah, negeri perjuangan dan negeri sahda karena banyaknya rakyat Gaza yang syahid di jalan Allah. Bagi kaum muslim (warga Gaza), dengan kekuatan doa bisa membawa berkah yang mereka tidak bisa bayangkan kapan akan tiba. Kenyataan tersebut tidak hanya warga Gaza saja yang tidak terlepas dari ayat kitab (doa), tetapi juga seluruh warga negara Indonesia khususnya bagi orang-orang muslim. Kata – kata yang telah dipilih oleh penyair ini sangat mendukung sekali karena dengan kekuatan doa walhasil masalah yang dihadapi dengan sendirinya akan hilang. Mungkin Laode Gusman Nasiru ketika memilih kata tersebut telah membangkitkan pengalaman jiwanya terhadap segala sesuatu dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pengalaman itu telah diolah dan didapatkan sedemikian rupa sehingga lahirlah kata-kata tersebut. Dan masih pada bait ini juga yang berbunyi “jalan itu membangun tersusun air mata dari bahasa jerit dan kanak-kanak” Larik ini maknanya sangat bertolak belakang dengan larik kedua, dimana pada larik ini penyair manggambarkan masalah peristiwa yang menimpa warga Gaza. Dalam peristiwa tersebut mendatangkan bencana yang menghancurkan mereka. Disini terlihat jelas bahwa yang menjadi sasaran kebanyakan kanak-kanak. Penderitaan mereka terus bertambah karena mereka tidak bisa berbuat apa-apa tanpa adanya pertolongan. Pernyatan tersebut juga terlihat jelas pada stanza pertama yang berbunyi: sebagian menepi pada aroma darah sebab pembantaian adalah maut yang berlari disetiap perbatasan siang dan malam. Pada larik ini sangat berkaitan dengan makna larik pertama bahwa akibat kejadian yang menimpa warga palestina, di daerah Gaza membawa bencana besar bagi warganya. Mereka yang terbunuh mulai dari bayi, anak-anak, remaja, hingga nenek-nenek dan kakek-kakek, masih pada stanza pertama yang berbunyi “sebab pembantaian adalah maut yang berlari disetiap perbatasan siang dan malam” Penyair menggambarkan bahwa pembantaian terhadap penduduk dan perampasan hak-hak atas penduduk Gaza. Dalam larik ini dapat dibaca kata yang menunjuk pada hal waktu yang diungkapkan secara bertentangan : “siang dan malam”. Permasalahan tentang waktu menjadi pilihan penyair untuk mengungkapkan pengalaman puistisi. Hal ini dapat dikemukakan secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan maut. Maut adalah masalah siapa pun sebagai takdir atas penerimaan kehidupan yang dijalani di dunia ini. Pengamatan Laode Gusman Nasiru terhadap situasi tersebut membangkitkan pengalaman jiwanya terhadap banyangan maut. Pengalaman itu telah diolah dan didapatkan sedemikian rupa sehinga lahirlah kata-kata tersebut yang benar-benar mempesona bagi para pembaca.

Suasana pada stanza pertama dipertegas lagi pada stanza kedua, dimana sipenyair menggambarkan tempat terjadinya peristiwa di setiap ledakan bom yaitu pada kata : tepi barat mereka mengirim celaka disetiap ledakan rudal. Pemilihan kata “tepi barat” masih sangat berhubungan dengan Gaza. Walaupun saat ini memang Gaza dan tepi barat berpisah. Gazah dikuasai oleh hamas dan tepi barat dikuasai oleh Fatah, masih pada stansa tersebut, pada kata : mereka mengirim celakan disetiap ledakan rudal. Penyair menggambarkan tentang peristiwa yang dilakukan oleh fatah. Larik ini jelas terlihat bahwa pada kata “mereka” bisa itu diartikan sebagai warga fatah. Maksud larik ini hampir sama dengan maksud stanza pertama. Di mana, akibat dari ledakan bom yang telah diloncarkan oleh fatah, jelas sekali bahwa yang mengalami korban kemungkinan juga sangat mengesankan, mungkinkah mereka melakukan semua itu ingin meyakinkan rakyatnya bahwa mereka sedang berjuang untuk kepentingan dan keamanan mereka. Meski harus dengan cara mengebom gedung apartemen besar dan membasmi rakyat palestina. Larik ini juga berhubungan dengan agresi yang bernuansa politik dan mungkin juga mengesankan bagi penyair dan pembaca. Mungkin penyair menulis kata-kata tersebut awalnya dia ikut simpati dengan keadaan yang menimpa warga palestina, sehingga mungkin saja timbul dalam dirinya sehingga lahirlah kata-kata tersebut. Masih pada stansa ini yang berbunga : meleyapnya kampung halaman para Nabi dari peta dunia. Pemilihan kata kampung halaman para Nabi dapat diartikan sebagai suatu tempat yang bersejarah, negeri pernah berjuang. Tempat dimana mereka memperjuangkan kekuasaannya dengan gerakan yang terkenal. Tempat disini juga diartikan sebagai tempat dikabarnya datuk Rasulullah SAW. Jadi saya yang mengartikan kampung halaman para nabi itu adalah suatu tempat persinggahan para nabi pada zaman dahulu kala. Namun bagaimana dengan “peta dunia” pemahaman saya tentang kata tersebut diartikan sebagai gambaran kehidupan seluruh masyarakat pelestina. Jadi makna pada larik ini merupakan suatu tempat persinggahan para nabi yang sekarang ini sudah tidak berarti lagi (diambang kehancuran) khususnya gambaran bagi kehidupan palestina.

Masih suasana pada stanza kedua yang berbunyi : apa yang lebih kau pahami selain kematian yang amis. Menurut saya maknanya membentuk kalimat tidak bersubjek, karena tidak jelas kepada siapa yang mengapresiasikan atau mempertanyakan pemahamannya apakah adalagi yang dia ketehui selain kematian yang merngerikan. Ini berarti La Ode Gusman Nasiru sengaja melibatkan pembacanya dalam larik tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan pada puisi tersebut memang bermula pada pengalaman pribadi yang benar-benar kuat dan lengkap. Bahkan diungkapkan benar-benar membuat pembaca berpikir keras.

Kemudian pada larik berikutnya yang berbunyi : disitu mereka telah membangun sebuah prasasti depan pintu surga pada kata “seribu prasasti” saya mengartikan sebagai tanda-tanda kehidupan. Namun pada kata “depan pintu surga” lebih hal-hal yang menyengkut keyakinan atau kekuatan agama. Jadi pada larik tersebut penyair mengambarkan tentang bagaiman membangun kehidupan mereka dengan penuh keyakinan, persaudaraan dan sala satuya agama tidak pernah penyimpang dari kehidupan mereke. Makna ini juga berkaitan dengan stanza pertama larik kedua. Karena agama dan doa merupakan suatu kesatuan, makna ini juga berhubungan dengan kehidupan pembaca dan penyair, mungkin dengan kekuatan agama dan doanya Gusman Nasiru keinginannya sebagai penyair mencapai kesuksesan ini berhubungan dengan pendekatan objektif yang menyangkut penilaian Absolutisme mengatakan bahwa penilaian karya sastra harus didasarkan pada ukuran dogmatis, misalnya agama. Agama merupakan suatu pengertian terhadap hal-hal yang harus tak dielekan dan kemajuan tidak dapat ditolak oleh semua anggota masyarakat, karena itu agama berlaku sebagai dasar penilaian perasaan manusia.

Pada stanza ketiga yang berbunyi : betapapun jam yang menyorot diri dan menunjuk angka malam / disembeli hak kami menikmati warna kelam / tapi tak pernah lupa mengirim setitik harapan disela-sela aroma tangisi. Penyair menggambarkan tentang masala kehidupan yang menimpa warga palestina. Pada larik ini juga berhubungan dengan bait pertama pada kata “siang dan malam” yang menunjuk pada hal waktu yang diungkapkan secara bersamaan : ”menunjuk angka malam” tetapi menikamati warna kelam”. Waktu adalah masalah kemanusiaan senantiasa dihadapi siapa pun setiap hari. Karena waktu pula hak-hak mereka telah dirampas pasukan israel. Penderitaan dan kesengsaraan yang dirasakan mereka juga sangat memprihatinkan karena hanya merasakan dunia kegelapan yang terungkap pada kata “disimbeli hak kami menikmati warna kelam”. Namun dibenak mereka harapan selalu ada. Disela-sela tangisan mereka mungkin harapan tidak akan pernah tau kapan akan datang. Mungkinkah La Ode Gusman Nasiru dengan melihat peristiwa tersebut. Timbul dalam jiwanya bahwa walaupun kehidupan yang penuh penderitaan tetapi harapannya tidak pernah hilang. Dan tanpa harapan pula kehidupannya tidak akan berarti.

Pemilihan kata “ jerit kematian yang telah terduga” diartikan sebagai gambaran kematian jelas sekali secara terang-terangan didepan mata. Kematian adalah masalah siapapun sebagai takdir atas penerimaan kehidupan yang dijalani di dunia. Kesadaraan akan takdir mereka dihadapkan dengan kematian dalam suatu kehidupan. Jadi gambaran tersebut merupakan simbol kesadaran penyair atau takdir sebagai manusia. Kesadaran atau takdirnya itu timbul dalam jiwanya, tetapi kematian sebagai bagian dari kehidupannya. Namun bagaimana dengan kata “dan malu ini kami jinjing di atas kepala / memperlihatkan kepada dunia / bahwa kami berhasil terusir dari bumi sendiri. Maksudnya disini penyair menggambarkan perasaan malu yang dialami warga gaza. Pemilihan kata malu sendiri diartikan bukan karena malu seperti mencari atau merampas hak-hak orang lain, tetapi memperlihatkan kepada dunia bahwa mereka malu karena terusir dari wilayah kekuasaan sendri. Dengan rasa malu mereka meninggalkan kehidupan yang pernah menjadi hak mereka.
Pada stanza ke empat yang berbunyi : jangan lupa menyapa tanah kami setiap shalat yang kau rancang di atas sajadah-Mu, Yohana. Penyair menyarankan kepada kita semua untuk selalu mendoakan mereka. Di sini juga jelas bahwa kita sesama umat muslim harus saling mendoakan. Namun saya sebagai pengkaji juga mengharapkan kepada seluruh masyarakat yang telah menyaksikan peristiwa tersebut, marilah kita buat sejarah baru, sejarah yang akan bermanfaat untuk kita semua dikemudian hari, sejarah yang menghibur dan menyenang hati saudara-saudara kita digaza khususnya dan palestina umumnya.

Simpulan pokok pikiran makna puisi kerya La Ode Gusman Nasiru saya mendapatkan empat pokok pikiran yang saling berkaitan.
 Kemana mereka harus pergi disaat hidup mereka terancam ?
 Kepada siapa meminta perlindungan disaat diri mereka menderita dan tidak ada seorang pun yang bisa membantu mereka ?
 Kemana harus pergi mencari petunjuk dan semangat ketika kehidupan mereka padam tidak berarti ?
 Dalam situasi demikian, tidak ada jalan lain selain berdoa dihadapan Tuhan
Sekarang bagaimana halnya dengan sikap penyair terhadap pokok pikiran puisi tersebut, mungkin ada bermacam-macam sikap seseorang sewaktu menghadapi situasi demikian. Mungkin mereka akan termenung sendiri, bertindak masa bodoh, menyalahkan orang lain dan berbagai kemungkinan sikap lainnya akan tetepi lain halnya dengan sikap penyair mungkin ia mengungkapkan bahwa dalam keadaan demikian tidak ada jalan lain kecuali dengan berdoa. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa dalam meampilkan pokok-pokok pikiran penyair memiliki suatu sikap yakni berserah kepada tuhan.

Namun bagaimana dengan sikap panyair terhadap pembaca? Sikap penyair terhadap pembaca akan mewujudkan adanya sikap yang bermacam-macam. Dalam hal ini mungkin mengajak, mengarahkan dan lain-lain. Adanya sikap-sikap tertentu dalam suatu puisi umumnya ditandai dengan bentuk-bentuk peryantaan tertentu. Dalam hal ini jangan tutup mata anda, seandainya tanda tertentu yang dapat menyiratkan sikap penyair terhadap pembaca tidak ada, dapat dipastikan bahwa penyair dapat menyikapi pembaca dengan sikap sesungguhnya.

Sekarang bagaimana dengan rangkuman penafsiran puisi? Rangkuman keseluruhan hasil penafsiran tersebut, baik penafsiran terhadap satuan-satuan pokok pikiran, maupun sikap penyair terhadap pembaca sewaktu menampilkan pokok-pokok pikiran tertentu ke dalam suatu kesatuan utuh. Dengan cara demikian, pada dasarnya dapat menemukan totalitas makna puisi yang saya baca. Namun bagaimana halnya dengan menentukan tema puisi?

Pembahasan tema pada dasarnya menerapkan pembahasan yang cukup rumit karena dalam hal ini menganalisis harus mampu berpikir secara mendasar. Hal ini dapat saja dimaklumi karena tema berhubungan dengan lapis duania yang metafisis (gaib) untuk mencapainya, pengkaji harus membaca hasil rangkuman totalitas makna yang telah dibuat secara berulang-ulang untuk membuat satu simpulan yang menjadi inti keseluruhan totalitas maknanya.

Dari keseluruhan totalitas makna yang terdapat dalam puisi yang berjudul “Bukit Pasir Sajadah Yohana” misalnya dapat dikatakan bahwa tema dalam puisi tersebut adalah dengan mendoakan mereka semua, maka dapat meringankan penderitaan yang mereka alami.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat saya simpulkan bahwa puisi karya Laode Gusman Nasiru memang, jika kita membaca sekilas puisi biasa-biasa saja dari segi isi mapun dari segi bentuk. Namun ketika kita memaknai isinya lebih dalam, kita dapat menemukan kepuasan tersendiri setelah membancanya.

Beberapa kepuasan yang saya dapatkan dari puisi Laode Gusman Nasiru diantara dari segi bahasanya yang sederhana namun cukup mengesankan untuk mengungkapakan sebuah peristiwa yang memperhatinkan. saya juga mengapresiasi karya Laode Gusman Nasiru yang merupakan penyait mudah yang karnyanya mulai memberi inspirasi bagi pengkaji. Dia lahir di Bau-bau 18 Juni 1989.


Read On 0 komentar

RAUDAL TANJUNG BANUA MENGENANG RENDRA DI KRATON BUTON

08.01
Oleh :ITA MEIARNI (A1D1 09 029)
penyunting: La Ode Gusman Nasiru

Takjub. Satu kata itu seperti tidak cukup mewakili deretan kalimat yang hendak saya utarakan demi membaca berbagai karya sastra (baca: puisi) yang tersebar dalam berbagai media massa saat ini.. Betapa tidak, coba Anda bayangkan, beragam tema, amanat, gaya bahasa, dan unsur-unsur kepuisian lainnya mampu diramu menjadi satu bentuk karya yang tidak sebatas indah tetapi juga memberi kesan mendalam terhadap pembaca. Tentunya, penilaian di atas berdasar kepada pengetahuan sedikit saya mengenai puisi.
Selalu menjadi bahan pemikiran saya menyangkut apa yang ingin mereka (penyair) sampaikan sehingga mesti menuangkan ragam ide dan gagasan dalam bentuk puisi. Tetapi kemudian saya membuat semacam satu simpulan sederhana tentang hal tersebut bahwa inilah keistimewaan puisi sebagai bagian dari karya sastra. Keistimewaan tersebut ialah kecenderungan perbedaan interpretasi antara penyair sebagai penulis objek dan pembaca sebagai penikmat objek. Secara sederhana saya paparkan bahwa terkadang di satu sisi penyair ingin berbicara mengenai konsep X dalam puisinya sementara pada sisi lain pembaca memiliki pemahaman yang tidak selajur dengan maksud awal pembuatan puisi. Ini tentu bukan sesuatu yang ironi dan wajib untuk dimafhumkan sebab hal tersebut justru memperkaya eksistensi puisi sebagai bagian dari karya sastra. Ingat, karya sastra merupakan dunia perpaduan antara imajinasi dan kenyataan, sehingga jangan salahkan jika unsur imaji dan kenyataan penulis tidak selalu sama dengan apa yang dimaknai oleh pembaca. Namun demikian, satu hal yang mesti dipahami bahwa pembaca bebas memaknai puisi sepanjang upaya memberi makna pada puisi masih berada pada zona limit interpretasi atau kewajaran dan kelogisan pemaknaan.
Raudal Tanjung Banua, di mata saya, memiliki satu keunggulan dan gaya khas tentang cara menuangkan gagasan ke dalam bentuk puisi. Dengan keunggulan dan gaya khas tersebut, Raudal mampu memikat hati saya sebab ia menciptakan metafora-metafora kalimat yang segar dan tersusun rapi dalam larik demi larik puisinya. Tentu saja kesan kagum menghiasi hati saya ketika membaca sajak-sajak itu. Dalam sajak itu Raudal mampu menghadirkan sosok pribadi yang termanifestasi menjadi sebuah kenangan dan menempati satu dimensi ruang seperti halnya yang terlihat dalam puisi berjudul “Mengenang Rendra di Kraton Buton”.
Begitu penting dan berartikah sosok Rendra bagi penyair kelahiran Lansono itu sehingga membuatnya mampu mencipta puisi kenangan untuk Si Burung Merak? Pada akhirnya, saya juga terpacu untuk menelusuri puisi ini. Saya rasa hal ini bukan sesuatu yang tidak penting. Berdasarkan redaksi keseluruhan puisi Raudal, kita dapat melihat sosok Rendra yang tak mudah goyah dalam kancah kepenyairan di tanah air. Rendra—masih berdasarkan deskripsi Raudal— adalah seorang penyair yang mampu mempertahankan egonya terhadap karya-karya yang telah diciptakannya, seperti karya-karyanya yang bersifat religius, nasionalisme, ataupun patriotisme. Hingga menjelang akhir hayatnya, lelaki yang bernama depan Wilibradus itu masih tetap semangat dalam melakukan perbincangan dengan tim rumah lebah ruang puisi tentang sastra.
Saya pikir, ketegasan dan kekokohan Rendra itulah yang memotivasi Raudal untuk menorehkan penanya dalam bentuk puisi dengan judul “Mengenang Rendra di Kraton Buton”.
Kiranya tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa Raudal adalah penyair yang ‘telah memiliki nama’ sehingga menghasilkan karya-karya yang banyak diminati oleh penikmat sastra. Saya pun demikian, sebagai penikmat juga sangat mengapresiasi karya-karya pria kelahiran 19 Januari 1975 itu. Salah satu puisi yang membuat saya tertegun ialah Mengenang Rendra di Kraton Buton sebab puisi ini diciptakan satu bulan setelah meninggalnya W.S. Rendra. Hal demikian kembali menimbul pertanyaan dalam benak saya, sebenarnya apa yang ada dalam puisi itu? Untuk menjawab keresahan saya itu, ada baiknya jika terlebih dahulu kita lihat sajak Raudal teranalisis.

Benteng yang kokoh akhirnya
akan tegak dalam kesunyian
Istana yang sederhana
akhirnya ditinggalkan
Masjid dan tiang bendera
meriam dan pintu-pintu,
Kapal-kapal, pelabuhan serta mercu
di laut jauh
semua bergerak meninggalkanmu…
Tidak. Sebagian masih tegak
berjaga, di bagian mana dirimu
Kubayangkan menjelma jadi dinding batu
Keras dan tabah menghimpun
segala yang bersisa
jadi milikmu, jadi milik delapan kanak-kanak
yang matanya setajam mata jangkar tua
di pelataran-mata yang memiliki tatapanmu,
dan akhirnya menjadi milik sang waktu!

Pada larik benteng yang kokoh akhirnya/ akan tegak dalam kesunyian/ istana yang sederhana/ akhirnya ditinggalkan/ menunjukkan bahwa walau sekuat atau sekokoh apapun sesuatu akhirnya tetap akan tumbang. Pada bagian ini penyair berdarah Sumatra tersebut mengibaratkan Rendra seperti benteng yang kokoh. Satu pertanyaan kemudian berputar-putar dalam batok kepala saya. Apakah tidak salah jika Rendra diibaratkan seperti itu? Tapi mengapa harus salah? Kekokohan Rendra dalam kancah kepenyairan sama halnya dengan benteng yang kokoh yang tidak mudah goyah. Namun sekokoh apapun Rendra, pasti akhirnya ’tumbang’. Ketidakbertahannya itu ditandai dengan kepergiannya meninggalkan dunia.
Pernyataan di atas didukung oleh baris istana yang sederhana/akhirnya ditinggalkan/. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada akhirnya dunia akan ditinggalkan, sekokoh apapun kita (pernah) berdiri dan (pernah) berjaya di atasnya.

Masjid dan tiang bendera
meriam dan pintu-pintu,
Kapal-kapal, pelabuhan serta mercu
di laut jauh
semua bergerak meninggalkanmu…

Saya rasa, Raudal sangat pandai mengaitkan kehidupan dunia Rendra dengan simbol-simbol atas objek yang ada di dunia. Perhatikan larik-larik di atas, benda-benda yang dikemukakan benar-benar menggambarkan kehidupan kepenyairan Rendra. Masjid dan tiang bendera/ meriam dan pintu-pintu/ ini menunjukkan bahwa dalam kepenyairannya, Rendra memiliki sikap adaptatif yang baik sehingga dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang ada. Kata “masjid” dapat menggambarkan kepenyairan yang religius, “tiang bendera” dapat menggambarkan kepenyairan yang bersifat nasionalisme, kemudian “meriam dan pintu-pintu” ini dapat melukiskan kepenyairan dengan jiwa patriotisme di dalamnya. Jadi, sangat jelas upaya penggambaran kehidupan Rendra dalam syair Raudal ini.
Kalau alinea terdahulu menjelaskan tentang kehidupan Rendra dalam hubungan dengan simbol-simbol yang dibuat penyair, bagian ini akan memaparkan relasi kepergian Si Burung Merak dengan konten puisi Raudal. Perhatikan larik kapal-kapal, pelabuhan serta mercu/ di laut jauh/ semua bergerak meninggalkanmu…/. Larik-larik tersebut berupaya menguatkan bahwa semua itu (dalam konteks keduniawian) berpisah dengan diri objek cerita. Maksud larik-larik itu kemudian diperkuat lagi pada klausa semua bergerak meninggalkanmu…/. Artinya, Rendra serta-merta melepaskan hidup dan kehidupannya, yang di dalamnya tentu terkandung hal-hal kepenyairan dan kebesaran namanya dalam dunia kesusastraan. Dalam kasus ini, satu hal yang ingin saya utarakan ialah: Rendra meninggal sedangkan karya-karyanya harus ia tingalkan. Ya, ia telah pergi, dan karya-karyanya hanya menjadi sejarah yang dinikmati.

Tidak. Sebagian masih tegak
berjaga, di bagian mana dirimu
Kubayangkan menjelma jadi dinding batu
Keras dan tabah menghimpun
segala yang bersisa
jadi milikmu, jadi milik delapan kanak-kanak
yang matanya etajam mata jangkar tua
di pelataran-mata yang memiliki tatapanmu,
dan akhirnya menjadi milik sang waktu!

Hal lain yang membuat saya tertarik menganalis puisi Raudal ialah ada bagian-bagian yang menggelitik pemikiran saya untuk menyelesaikan pembacaan terhadap puisinya. Pada bagian awal, penyari telah mengatakan bahwa Rendra dan karyanya telah melakukan satu bentuk saling ’tinggal-meninggalkan’. Akan tetapi, redaksi puisi berikutnya justru hadir satu bentuk pengingkaran atau penolakan atas hal terdahulu. Penolakan yang sangat tegas pada larik ini ialah kata tidak. Dilanjutkan kemudian oleh sebagian masih tegak/ berjaga, di bagian mana dirimu/. Kutipan larik di atas mempertegas bentuk pengingkaran yang saya maksud sebelumnya. Raudal ingin menyatakan bahwa meskipun Rendra telah pergi, kita tetap dapat menikmati kekayaan pemikiran dan hasil kreatifitasnya lewat karya-karya peninggalannya.
Penjelasan di bawah ini difokuskan pada bentuk kesedihan penyair sekaligus pembaca sebagai akibat dari sebuah kehilangan. kubayangkan menjelma jadi dinding batu/ keras dan tabah menghimpun/ segala yang bersisa/. Larik tersebut jelas menyodorkan efek kesungguhan rasa kehilangan yang luar biasa, sehingga harus dihadirkan kubayangkan menjelma menjadi dinding batu/ sebagai suatu “pembayaran” dan “penebusan” atas suatu kehilangan dan kepergian. Kedua hal terkutip di atas dilukiskan sebagai satu bentuk pembayangan untuk menjelmakan kembali Rendra dalam wujud yang kokoh dan tangguh seperti dinding batu yang menghimpun dan merangkul segala yang bersisa.
Pemaparan yang berkaitan dengan kehilangan kembali dimunculkan pada empat larik terakhir puisi ini, yaitu jadi milikmu, jadi milik delapan kanak-kanak/ yang matanya setajam mata jangkar tua/ di pelataran-mata yang memiliki tatapanmu/ dan akhirnya menjadi milik sang waktu!/. Sungguh W.S. Rendra adalah seorang yang sangat berarti dalam dunia kepenyairan tanah air sehingga pantas menjadi tolok/alat ukur atau motivator bagi kaum muda. Hal itu diimajikan dengan kanak-kanak yang matanya setajam mata jangkar tua. Dengan demikian, kita mendapat konsep akan begitu besar pengharapan Raudal terhadap kaum muda dalam menatap perkembangan persajakan di negeri ini. Pengimajian yang menjadi batu pijak pernyataan itu ialah setajam mata jangkar tua/. Maksudnya, orang-orang muda saat ini sebaiknya memiliki pandangan dan pengetahuan tentang dunia kesastraan, sebab kita tahu bahwa sastra selain sebagai sarana hiburan juga dapat memperhalus budi para penikmatnya. Hal yang menjadi penegasan pada bagian ini ialah penyair ingin agar orang-orang muda/penikmat sastra memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap lingkungan sosialnya sehingga membawa mereka memasuki arah positif. Salah satu cara untuk memenuhi dan mencapai berbagai harapan penyari di atas ialah dengan bercermin pada Rendra sebagai objek dalam hubungannya dengan realitas sosial di sekitarnya.
Ada larik dalam puisi berlatar Keraton Buton di atas yang saya anggap benar-benar menyesakkan rasa dan batin. Perhatikan larik mata yang memiliki tatapanmu,/ dan akhirnya menjadi milik sang waktu/. Penyair berkaca mata itu mengakhiri puisinya dengan memanfaatkan satu lapis metafisika (penegasan tentang kepergian dan kehilangan) yang amat mendalam sehingga Rendra hanya mampu hidup dalam kenangan di kepala saya.
Penyair yang lahir di Lasono, Kenagarian Taratak, Sumbar ini, dalam larik demi larik puisinya tidak terus terang menyatakan apa yang dimaksud, melainkan sering dengan menggunakan simbol-simbol atau ketidaklangsungan pengungkapan. Penggunaan simbol ditujukan untuk mendapatkan tenaga puisi hingga terasa benar kehadiran apa yang ingin diungkapkan. Penggunaan tanda-tanda tersebut juga berpotensi menimbulkan ketegangan puisi dan memperjelas maksud, hingga keadaan dalam puisi benar-benar memisahkan karya sastra dengan keseharian. Keadaan itu oleh Subagio Sastrowardojo disebut sebagai jarak estetika (esthetic distance). Jarak estetika ini selalu terdapat dalam tiap-tiap karya sastra, kian jauh jarak estetika kian terasa ketegangan puisi.
Ketidaklangsungan itu terlihat dalam larik pertama puisinya benteng yang kokoh akhirnya/ akan tegak dalam kesunyian/. Pernyataan itu memang cenderung lebih abstrak daripada dikatakan secara konkret seperti ini: benteng yang kokoh akhirnya akan berada dalam keruntuhan, atau langsung pada maksud seperti ini: sehebat-hebatnya penyair pasti akan menemui akhir. Dengan pernyataan yang langsung seperti demikian , larik puisi menjadi tidak menarik. Lagi pula larik-larik puisi memerlukan pemadatan makna seperti kata Ralph Waldo Emerson bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin. Pemadatan tersebut dapat dicapai dengan penggunaan kata-kata yang sugestif dan konotatif.
Dalam larik di atas saya sempat berpikir mengapa harus menggunakan kata ‘akhirnya’, mengapa tidak diganti dengan kata ‘pasti’. Bukankah pasti itu suatu yang sudah terang akan terjadi. Tetapi setelah ditafsirkan lebih mendalam ternyata penggunaan kata akhirnya mengandung unsur-unsur religius, yang akan membutkikan satu kesadaran kesadaran bahwa semua akan kembali. Jadi, kata ‘akhirnya’ mengandung makna yang lebih kuat daripada kata ‘pasti’.
Selanjutnya pada larik 5—8, ada lirik yang berbunyi masjid dan tiang bendera/ meriam dan pintu-pintu/. Kalimat dalam larik ini terasa lebih tepat daripada harus menyatakan secara langsung : karya-karya religius, nasionalisme dan patriotisme semua bergerak meninggalkanmu, meskipun sebenarnya ketiga hal itulah yang ingin dinyatakan oleh penyair. Pada kalimat pertama, Raudal menggambarkan bahwa benar yang ada di dunia telah ditinggalkan. Sedangkan pada kalimat kedua lebih terang menyampaikan maksud yang seolah-olah terfokus pada hal itu saja sehingga tidak menunjukkan nilai estetika dalam puisi—menurut pemikiran sederhana saya.
Saya pikir, pernyataan tidak salam salah satu lirik puisi tersebut akan lebih baik menggunakan pungtuasi tanda seru guna mempertegas penolakan terhadap larik sebelumnya. Berbicara tentang ketepatan konten puisi, pada larik ke-15 jadi milikmu,jadi milik delapan kanak-kanak/ sudah cukup baik penempatannya. Kata kanak-kanak dan anak-anak sesungguhnya—jika sepintas dilihat—memiliki makna yang sama, ialah seseorang yang belum menginjak remaja. Akan tetapi, setelah ditelusuri lebih lanjut ternyata kanak-kanak memang lebih tepat daripada anak-anak karena kanak-kanak lebih mengarah kepada unsur sifat. Jadi lebih bagus pemaknaan dengan menggunakan kata kanak-kanak.
Sebagai penutup saya ingin berkata bahwa penyari berusia 35 tahun itu telah menorehkan buah pikirannya dalam larik demi larik puisinya yang berjudul “Mengenang Rendra di Kraton Buton” dengan pemaknaan luar biasa melalui pendeskripsian sosok W.S. Rendra. Penggambaran sosok penyari nasional tersebut dihadirkan dengan memanfaatkan kombinasi kata yang indah dan kepadatan makna sehingga menumbuhkan kesan estetika yang sangat menarik perhatian penikmat sastra. Jadi, ya, ada rasa kagum tersendiri yang tersimpan dalam lubuk hati saya tentang hal tersebut dan saya rasa perasaan itu akan tetap ter-save dengan baik. Akhirnya, keseluruhan bagian dan makna puisi di atas memberikan kesan yang sangat mendalam dan memotivasi saya untuk tetap semangat dalam berkarya dan terus barusaha memaksimalkan diri dalam berekspresi.
Demikian penafsiran sederhana ini. Semoga berkenan di hati pembaca. Salam.


Read On 0 komentar

Total Tayangan Halaman

Zona Kendari

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign


Universitas Haluoleo

Kedai Estetik : Berbahasa dengan jujur.

merupakan ruang publikasi Mahasiswa | Program Mata Kuliah kajian Puisi tahun 2010/2011 | Program Studi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan | Universitas Haluoleo | Kendari Sulawesi Tenggara Indonesia.

Recent Comments kedai estetik