cakrawala
Selamat datang di ruang ulasan puisi Kedai Estetik (kelas kajian puisi angkatan 2009 Universitas Haluoleo)

MENENGOK SEJARAH BUTON LEWAT SEKANTONG LUKA DARI SEORANG IBU KARYA IRIANTO IBRAHIM PERSPEKTIF DIMENSI SOSIAL DAN SEJARAH

06.47
Oleh: Susi Susanti Idris (A1D1 09 031)



SEKANTONG LUKA DARI SEORANG IBU
:kepada ibu ainun kasim

Supaya dapat kau ceritakan pada mereka perihal dada yang terhimpit ini:

dada seorang ibu yang tak sempat melihatmu menangis atau sekedar tersedu, sebab baginya kaki-kaki kursi yang diinjakkan pada kuku-kuku kaki suaminya tak pernah benar-benar mengenal rasa sakit: oleh luka maupun kepergian yang dipaksakan. ia ingin mengutuki dirinya jadi batu atau serumpun pohonan bambu tempat putri tanah ini terlahir. ia ingin menjadi jembatan, tempat anak-anaknya menyeberangi cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah, namun suara tertahan dari leher tercekik tak sempat memandunya berdoa.

di sebelah sana: di ujung pantai terjauh, ia melihat kapal-kapal mengibarkan layar dan memasang lampu-lampu. ia ingat putrinya yang minta kapal-kapalan. ia rabai riak selat yang tak sempat jadi gelombang: ia urungkan senyumnya. dadanya sesak. dada seorang ibu yang tak sanggup memberi: dada seorang ibu yang menyuruh anak-anaknya mengatup bibir mereka sebelum tersenyum. dada yang menampung sunyi nyanyian mantra para tetua adat.

di punggungnya, ribuan tanda tanya dipikulkan anak-anaknya. tanya yang melarangnya berbaring. tanya yang dijawab dengan tatapan mata berkilat-kilat. semacam perisai para tentara yang disarungkan pada tangan sebelah kiri, ia menutup mukanya. ia sembunyi dari desakan yang menghimpit. nafasnya tersengal, isaknya sesegukan. lalu dibasuhnya muka merahnya dengan darah suaminya. darah yang dicecerkan dua belas kendi jampi-jampi. darah dari lipatan perih dan airmata yang sekarang menyerah. darah yang kemudian hari akan ia larung ke laut banda. laut yang akan menenggelamkan suaranya.

bahkan mungkin, bila kau betah menyimak perih: mendefinisikan penistaan. ia seorang ibu yang tak dibolehkan mengucap tahlil saat pemakaman suaminya. yang meronta dan menangis, sambil mengintip dari kangkangan kaki kekar penggali kubur tanpa rasa iba di wajah mereka. ia bicara pada tanah yang tak bisa mendengar suaranya sendiri. ia inginkan pelukan seorang suami. pelukan terakhir yang ingin ia bingkai dengan pelepah pisang atau patahan ranting pohon jarak dari kuburan itu. ia, seorang ibu yang hanya memiliki sebatang pinsil untuk sketsa keluarga, dengan wajah suami yang sengaja akan disamarkan. satu hari nanti, bila mungkin kau bisa bercerita pada seorang yang lain, jangan bilang ia tak sempat meneteskan embun untuk bunga-bunga di halaman rumahnya. sebab seusai shalat subuh, saat para nelayan telah kembali ke dada istri-istrinya, ia masih khusyuk menciumi sobekan kafan yang tak sempat ia balut pada tubuh suaminya.

Kendari, 2009


(23.38 WITA) Saya akan memulai tulisan ini dengan ungkapan alakadarnya yang terlintas di kepala saya akibat laju adrenalin yang ciut ketika mendengar gonggongan Anjing di malam yang semakin sepi.



“Segala yang unik berpeluang besar untuk menarik”

Ungkapan ini kiranya cocok jika saya khususkan untuk sebuah karya sastra bernama puisi. Maka penyair yang kreatif tidak semata-mata adalah penyair yang sanggup berimaji setinggi langit untuk menemukan kata-kata atau “bahasa” yang lain daripada yang lain. Lebih dari itu, penyair diharapkan mampu berpijak di atas realitas untuk menggali “harta karun” yang bersemayam (boleh jadi berabad-abad) di dalamnya. Maka relevansinya adalah : “bahasa” yang khas dijadikan seorang penyair sebagai alat utama untuk menggali makna realitas yang dihadapinya, sekaligus yang dihadapi pula oleh orang lain. Dan penyair hadir dengan perspektifnya yang eksklusif, melihatnya melalui kacamata multidimensi, meskipun tidak semua penyair memakai kacamata atau punya kacamata multidimensi tersebut. Oleh karena itu, saya patut memberikan apresiasi super kepada Irianto Ibrahim, seorang penyair asal Sulawesi Tenggara yang pada puisi “Sekantong Luka dari Seorang Ibu” mampu mengangkat dua dimensi realitas sekaligus, yaitu kehidupan sosial dan sejarah Buton tahun 1969.

Dalam Sekantong Luka dari Seorang Ibu, penyair menggunakan cara pandang yang khas dalam membentuk jalan cerita pada puisinya. Secara umum, kekhasan cara pandang terhadap suatu realitas disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah: penyair telah menemukan sisi baru dari kehidupan (cara, sikap, dan pendekatan) yang memunculkan gairah serta terus-menerus mencuri perhatiannya untuk mengekspresikan bahasa pribadinya ke dalam puisi hingga dapat menghasilkan karya yang secara lahir maupun batin “memuaskan”. Dan gairah tersebut saya tangkap menghampiri pula penyair kelahiran Gu-Buton, 21 Oktober 1978 ini. Sebelum menulis puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu, pada tahun 2007 Irianto Ibrahim pernah menulis puisi yang juga mengisahkan getirnya sejarah Buton tahun 1969 dengan judul Buton 1969.

Pada puisi yang berjudul Buton 1969, Irianto Ibrahim hadir dengan sentimentalismenya. Ia berulang kali menuliskan kesedihan dan kekalahan dengan sikap pesimistis. Misalnya pada bait pertama baris ketiga dan keempat, ia berkata: kau tak usah mendesak laut menyurut/ atau pohon-pohon mengemis angin. Atau saat ia berkata pada bait ketiga baris keempat, kelima, dan keenam : meski berkali-kali kau menyebut ingin / ia tak hinggap di sana / tidak di deretan kata yang memuat namamu /Atau pada bait keempat baris pertama hingga keempat : pulanglah, kembali ke bilik langit / sambil bersiul sepanjang luka / sepanjang kenangan yang menghanguskan / tahun-tahun cerita.

Sikap pesimistis tersebut turut diikuti dengan bentuk penyajian baris demi baris puisi yang monoton (Anda dapat memperhatikannya sendiri). Karena baris demi baris pada puisi yang memiliki lima bait tersebut menggunakan kalimat yang cukup pendek juga tanpa membubuhkan tanda baca yang berarti, maka pembaca kiranya membutuhkan rima atau persamaan bunyi, terutama asonansi dan aliterasi pada bunyi akhir setiap baris agar ada keestetikan konkret ketika pembaca melisankan puisi tersebut.

Namun, terlepas dari semua itu – seperti yang saya katakan di awal tadi – Irianto Ibrahim punya gairah untuk terus mengeksplorasi kemampuan menulis puisinya terhadap satu tema yang telah mencuri perhatiannya. Maka dalam jeda kurang lebih dua tahun, Irianto Ibrahim kembali menulis sebuah puisi dengan latar sejarah Buton tahun 1969, dengan sikap dan pendekatan yang lebih tegar serta struktur yang lebih artistik dan estetik. Inilah sekantong Luka dari Seorang Ibu:


Irianto Ibrahim dalam puisinya di atas: Sekantong Luka dari Seorang Ibu, secara umum ingin mengingatkan kita pada sejarah nasional Indonesia tahun 1965 yang telah merembeskan tragedi-tragedi kemanusiaan tak terperih di berbagai daerah di tanah air termasuk yang terjadi di Sulawesi Tenggara, khususnya Buton.

Maka secara khusus, puisi tersebut merupakan gambaran kisah sebuah keluarga korban kebiadaban tragedi 1969 di Buton, yang tidak lain merupakan kisah keluarga Drs. Muh. Kasim, Bupati Buton kedua yang memerintah sekitar tahun 1964-1969.

Untuk lebih menghangatkan ingatan sejarah para pembaca, saya terlebih dahulu akan menyinggung beberapa peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1965-1969, sebagai berikut:

Partai Komunis Indonesia (PKI) sejak awal kemerdekaan senantiasa ingin merebut pemerintahan di Indonesia. Selain merebut pemerintahan, PKI juga ingin mengganti ideologi negara Pancasila dengan Marxisme-Leninisme. Upaya mewujudkan tujuannya itu telah terlihat sejak pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1948. Pemberontakan itu dapat digagalkan, tetapi belum dapat ditumpas secara tuntas karena pemerintah RI menghadapi Agresi Militer II Belanda. Pada tahun 1950-an, PKI bangkit kembali. Dalam pemilihan umum tahun 1955, PKI menjadi partai terbesar nomor empat di Indonesia.

Semakin lama PKI merasa semakin kuat karena program-programnya menjadi bagian dari program pemerintah (masa pemerintahan Ir. Soekarno). Untuk menunjukkan kekuatannya, PKI berpura-pura menerima pancasila dan UUD 1945. Tindakan PKI ini tentu saja menggelisahkan kalangan yang setia pada pancasila. Salah satu partai bernama Murba mencoba menentang PKI, tetapi akhirnya PKI berhasil mempengaruhi Presiden Soekarno untuk membubarkan partai Murba. PKI juga melakukan penyusupan pada tubuh PNI sehingga mengakibatkan pecahnya PNI menjadi dua. PKI juga menyusup ke dalam tubuh ABRI dan organisasi sosial politik lain dengan membentuk sebuah Biro khusus yang bertugas mempersiapkan pemberontakan. Usaha Biro khusus ini cukup berhasil, terbukti dari adanya beberapa anggota ABRI yang ikut mendukung dan terlibat dalam pemberontakan G 30 S/PKI.

Pada bulan Juli dan Agustus 1965, kesehatan Presiden Soekarno menurun dan mendapat pemeriksaan tim dokter dari RRC dan dokter Indonesia. Menurut analisis dokter, keadaan kesehatan presiden sangat gawat. Mengetahui hal tersebut, tokoh-tokoh PKI yang sedang berada di luar negeri segera kembali ke Indonesia untuk melakukan persiapan pemberontakan.

Ketua Comite Central PKI, D.N. Aidit memerintahkan Biro Khusus PKI untuk membuat suatu rencana gerakan. Sejak awal September 1965, mereka semakin sering mengadakan rapat-rapat rahasia dengan beberapa oknum ABRI yang telah dipengaruhi komunisme untuk membahas rencana pemberontakan dan untuk mempersiapkan diri melaksanakan gerakannya.

Sebagai pendukung gerakan yang akan dilakukan, PKI mengadakan latihan militer bagi anggota-anggotanya di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Latihan itu dilakukan dengan berkedok melatih para sukarelawan dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Sampai akhir September 1965, di desa Lubang Buaya telah dilatih lebih kurang 3.000 orang anggota PKI dan organisasi bawahannya.

Dinihari pada tanggal 1 Oktober 1965, PKI mulai mengadakan penculikan dan pembunuhan para pemimpin tinggi atau pejabat teras TNI-AD. Dalam aksinya jatuh korban enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama angkatan darat serta seorang bintara polri. Jenazah perwira-perwira angkatan darat yang dianiaya dan dibunuh oleh PKI dibawa ke Lubang Buaya. Setelah puas menganiaya, perwira yang masih hidup dimasukkan ke dalam sumur tua yang terletak di sana.

Pada tanggal 18 Oktober 1965, penangkapan pertama terjadi di Sulawesi Tenggara, delapan orang yang dituduh pimpinan Daerah PKI ditahan oleh aparat KOREM 143. Pada tanggal 28 Oktober 1965, kerusuhan mulai meletus di Sulawesi Tenggara dan sekitarnya. Masyarakat dengan dipandu oleh beberapa ormas dan organisasi kepemudaan mulai merusak rumah-rumah orang yang dituduh PKI dan juga terhadap instansi yang dicurigai telah disusupi oleh PKI. Tidak ada jumlah yang pasti kerugian dan korban jiwa dalam kerusuhan itu. Kendari, Buton , Makassar, Palu, dan beberapa daerah lain di Sulawesi menjadi pusat dari kerusuhan massal tersebut.

Tahun 1968 merupakan puncak dari penangkapan terhadap orang yang dituduh PKI di Sulawesi. Di Kendari tercatat lebih dari 200 orang ditahan.

Tahun 1969 beredar isu bahwa daerah Buton merupakan pusat pasokan senjata PKI dari Cina. Isu tersebut menyebabkan Buton mendapat stempel “basis PKI”. Ratusan orang ditahan atas isu tersebut, puluhan staf kantor Bupati ditangkap termasuk Drs. Muh. Kasim, Bupati Buton waktu itu yang beberapa bulan kemudian dinyatakan bunuh diri dengan menggantung diri dalam tahanan. Padahal setelah dilakukan penyelidikan ternyata di Buton tidak ditemukan senjata dan tidak ditemukan ada operasi pemasokan senjata dari Cina.

Dengan hasil penyelidikan tersebut maka beberapa tahanan yang merupakan elit pemerintah Kabuten Buton tetap ditahan, namun kemudan dipindahkan ke Moncongloe, Makassar untuk direlokasi. Setelah penahanan massal yang dimulai tahun 1965, maka antara tahun 1968-1969 dilakukan interogasi oleh pihak yang ditugasi pemerintah waktu itu, tercatat beberapa nama yang melakukan interogasi dengan siksaan (sentruman, cambukan, sundutan dengan rokok, serta ujung jari yang dihimpit dengan meja). Tahanan yang diinterogasi dipaksa untuk mengakui apa yang mereka tidak lakukan dan selanjutnya menandatangani persetujuan atas Berita Acara Pemeriksaan.

Sisi gelap sejarah nasional Indonesia tahun 1965 tersebut, menyebabkan lebih dari satu juta orang terbunuh dan jutaan orang lainnya dipenjarakan tanpa proses hukum. Selain itu yang lebih menyakitkan adalah perlakuan terhadap eks tahanan politik (tapol). Hukuman yang mereka terima berpuluh-puluh tahun ternyata tidak berhenti setelah bebas dari tahanan. Peminggiran, diskriminasi, stigma negatif, hingga persoalan hak milik tanah dan berbagai hak mereka sebagai warga negara seolah hilang.

Bagi masyarakat Buton, luka terperih adalah pemberian cap “basis PKI” yang tidak semestinya mereka sandang. Anehnya, Jakarta yang menjadi lokasi pembunuhan para jendral pahlawan revolusi, tidak diberi cap “basis PKI”. Mengapa Buton yang diberi cap basis PKI? Apapun alasannya, satu hal yang pasti bahwa cap “basis PKI” merupakan “ancaman kematian” Rakyat Buton: kematian hak-hak asasi kemanusiannya, kematian hak-hak sipil dan hak-hak politiknya, serta kematian budaya leluhurnya yang telah berkembang selama lebih dari enam abad sebagai salah satu bekas kerajaan dan kesultanan di Nusantara. Sebuah tragedi kemanusiaan telah ditimpakan di atas kepala Rakyat Buton, rakyat eks kesultanan yang berdasarkan islam
(Dihimpun dari berbagai sumber)

. . .

Dari penggalan-penggalan peristiwa sejarah nasional 1965 di atas, tentu menimbulkan berbagai perasaan di hati Anda masing-masing. Entah kaget karena baru mengetahui jika jumlah korban yang berjatuhan sangat luar biasa, dan tidak hanya terjadi di Pulau Jawa namun menyebarluas hingga ke beberapa daerah di tanah air, atau marah atas kekejaman PKI terhadap rakyat sipil yang tidak bersalah, atau ada perasaan takut bercampur sedih yang masih berkecamuk (trauma) karena keluarga Anda turut menjadi korban pahitnya sejarah 1965?

Memang, peristiwa tersebut masih menyisakan berbagai polemik. Sekedar mengingat atau membaca ceritanya pun kita akan geregetan pada kebiadaban oknum tertentu masa itu. Namun bagi seorang penyair bernama Irianto Ibrahim, kenangan sejarah kelam tersebut ia tuangkan begitu moderat dengan perasaan yang etik dalam bait demi bait puisinya.

Sebagai putra daerah (Buton), penyair yang merupakan dosen di Universitas Haluoleo, Kendari, dalam puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu, mampu menegakkan fungsi puisi sebagai sarana edukasi. Lihat saja bagaimana ia mengajak orang lain untuk mengenal sejarah negerinya : supaya dapat kau ceritakan pada mereka perihal dada yang terhimpit ini/…bahkan mungkin, bila kau betah menyimak perih: mendefinisikan penistaan/… satu hari nanti, bila mungkin kau bisa bercerita pada seorang lain.

Memang, bagi pembaca yang belum mengetahui bahwa puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu merupakan dedikasi penyair terhadap sejarah Buton, khususnya kepada para korban (kita semua) yang ditinggalkan, mereka akan menganggap biasa terhadap kisah demi kisah yang dijalin penyair lewat sosok seorang Ibu. Maka pembaca dituntut untuk memiliki pengetahuan atau referensi terhadap apa yang terjadi di Buton pada tahun 1969 agar segala “harta karun” dalam puisi dapat dimiliki seutuhnya oleh pembaca. Dalam hal ini penyair tentu sadar betul akan pentingnya pengetahuan sejarah (tidak saja untuk menafsirkan puisi) tapi lebih kepada bukti nyata sikap nasionalis dan patriotis yang dapat ditunjukkan pembaca (terutama generasi muda) setelah mendapat pengetahuan tentang sejarah tertentu. Apalagi, seiring berkembangnya IPTEK, para generasi muda cenderung “malas” untuk mempelajari sejarah negerinya, sehingga lambat laun tidak ada lagi “cerita” yang dapat dibagi ke anak cucu mereka. Minimal cerita tentang sejarah di daerahnya.

Buton, lewat si penyair- Irianto Ibrahim- telah dua kali bercerita tentang sejarah Buton tahun 1969. Lantas saya jadi bertanya-tanya mengapa tidak ada gairah seorang “Irianti Ibrahim” (putra daerah Buton) untuk lebih memperkenalkan sejarah daerahnya yang lain? Misalnya, tentang sejarah peralihan Buton dari kerajaan ke kesultanan ke pemerintahan demokrasi, hingga mencuatnya ide pembentukan “Provinsi Buton Raya” yang penuh lika-liku dan mungkin juga bisa mencipta “sekantong” luka atau lebih.

Terlepas dari semua itu, secara umum penggambaran sejarah yang dilakukan Irianto Ibrahim dalam puisinya Sekantong Luka dari Seorang Ibu, unik dan menarik. Maka ungkapan yang saya kemukakan di awal tulisan ini” segala yang unik berpeluang besar untuk menarik, kiranya keduanya berhasil dipenuhi oleh “tangan dingin” Irianto Ibrahim.Karena ada juga karya yang unik namun tidak menarik begitupula sebaliknya, karyanya menarik namun tidak unik di mata sebagian besar pembacanya.

Keunikan puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu di antaranya dapat diindera melalui : pertama, latar belakang sejarah yang melatarbelakangi penulisan puisi tersebut. Kedua, isi puisinya yang bercerita tentang sejarah Buton tahun 1969 dihadirkan berbeda lewat sosok seorang Ibu melalui cinta kasih kepada sang suami dan anak-anaknya : ia ingin menjadi jembatan, tempat anak-anaknya menyebrangi cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah/… ia masih khusyu menciumi sobekan kafan yang tak sempat ia balut pada tubuh suaminya. Ketiga, alur ceritanya mengalir indah dengan bahasa-bahasa sederhana namun mampu menggugah cita rasa pembacanya. Dan yang keempat, puisinya sarat nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan ketegaran, yang dikombinasikannya menjadi sebuah judul cantik : Sekantong Luka dari Seorang Ibu. Keunikan yang berkelas seperti itulah yang membuat suatu karya sastra dikatakan pula menarik. Namun, unik dan menarik tidak lantas membuat suatu karya menjadi sempurna. Hal ini juga terjadi pada puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu. Oleh karena itu, saya akan menganalisis lebih detail puisi yang ditulis pada tahun 2009 tersebut, sebagai berikut :

Pada puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu, penyair mencantumkan dedicated : kepada ibu ainun kasim yang merupakan istri Bupati Buton kedua, Drs. Muh. Kasim. Menurut sebuah sumber, Bupati Buton tersebut dinyatakan meninggal akibat gantung diri di dalam tahanannya karena tidak tahan atas siksaan dan tudingan yang menyebutkan bahwa Buton merupakan Basis PKI dan Kantor Bupati Buton ditengarai sebagai pusat operasi pemasokan senjata PKI dari Cina. Beliau – Drs. Muh. Kasim – yang merupakan kepala daerah saat itu jelas menanggung banyak kecaman dari tudingan miring tersebut. Kecaman itulah yang mengukir beban psikologis dalam jiwanya. Siapa yang kebal terhadap fitnah? Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Sehingga ia memilih mengakhiri hidupnya dengan jalan yang…entahlah, hanya Tuhan Yang Maha Tahu.

Namun ada juga isu yang berkembang di masyarakat saat itu menyatakan bahwa berita kematian Drs. Muh. Kasim yang dinyatakan bunuh diri tersebut merupakan kebohongan dari pihak yang ditugasi saat itu untuk menginterogasi para tahanan politik. Karena dalam interogasi yang mereka lakukan, tercatat beberapa nama yang melakukan interogasi dengan siksaan yang keji.

Namun dalam menyikapi dua spekulasi tersebut, penyair dengan begitu moderat menuliskan : sebab baginya kaki-kaki kursi yang diinjakkan pada kuku-kuku kaki suaminya tak pernah benar-benar mengenal rasa sakit : oleh luka maupun oleh kepergian yang dipaksakan/… ia seorang ibu yang tak dibolehkan mengucap tahlil saat pemakaman suaminya. Kata “kepergian yang dipaksakan” merupakan kata kunci yang mewakili kemoderatan penyair. Kata tersebut bisa berarti “meninggal karena bunuh diri” atau “meninggal karena dibunuh”. Dalam karya sastra, hal tersebut dikenal dengan istilah “ambiguitas”.

Namun dalam hal ini, ambiguitas terjadi karena adanya realitas yang juga masih ambigu. Tapi setidaknya ini membuktikan bahwa penyair cukup “dekat” dengan masalah “sejarah” yang diangkatnya menjadi sebuah puisi. Dan kedekatan tersebut dengan bangganya “dipamerkan” penyair dalam dua baris puisinya berikut :supaya dapat kau ceritakan pada mereka perihal dada yang terhimpit ini /…ia ingin mengutuki dirinya jadi batu atau serumpun pohonan bambu tempat putri tanah ini terlahir. Dua kata “ini” yang saya garisbawahi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti : kata penunjuk terhadap sesuatu yang letaknya tidak terlalu jauh dari pembicara. “ini” pada kalimat pertama menunjuk pada “dada”, sedangkan “ini” pada kalimat kedua menunjuk pada “ putri tanah ”. jika kita kaitkan pada keseluruhan isi puisi dimana penyair merupakan narrator serba tahu yang menggunakan e l “ia” sebagai kata ganti orang ketiga tunggal dalam menyebut “ibu”. Maka kedua kalimat tersebut bila tidak dikaji dengan saksama akan menimbulkan kesalahan penafsiran sebagai berikut: “dada” adalah milik penyair dan “ ocial tanah” adalah si penyair. Padahal sesungguhnya penggunaan kata “ini” hanyalah style penyair untuk menunjukkan kedekatannya pada kisah keluarga Drs. Muh. Kasim.

Kesalahan interpretasi juga berpeluang dilakukan pembaca yang kurang jeli terhadap baris berikut: ia bicara pada tanah yang tak bisa mendengar suaranya sendiri. Bisa saja pembaca tipe ini menafsirkan bahwa “suaranya sendiri” menunjuk pada milik “ia”. Untuk lebih memperkuat anggapan saya, saya akan menganalogikan kalimat tersebut sebagai berikut: Susi bicara pada Fitri yang tak bisa mendengar suaranya sendiri. Maknanya mulai gambling bukan? Ya, arti kalimat tersebut adalah: “ia” bicara pada tanah dimana tanah (yang diajak bicara) untuk mendengar suaranya sendiri saja tidak bisa, lalu bagaimana “tanah” dapat menangkap kata-kata “ia” ? Inilah yang dikatakan pekerjaan yang sia-sia.

Berbicara masalah kesia-siaan, orang bijak berkata: sesungguhnya tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Benarkah? Dalam puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu penyair secara tidak langsung membenarkan hal tersebut. Lewat sosok seorang ibu yang ditinggalkan oleh suaminya dengan cara yang sulit diterima akal sehat, penyair berkata: ia ingin menjadi jembatan, tempat anak-anaknya menyebrangi cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah/ … jangan bilang ia tak sempat meneteskan embun untuk bunga-bunga di halaman rumahnya. Dari kalimat-kalimat tersebut terpancar keinginan sang ibu untuk tetap tegar menghadapi cobaan hidup demi masa depan anak-anaknya. Maka sesungguhnya ada hikmah atau pelajaran berharga yang bisa dipetik dari setiap peristiwa, meskipun manis hikmah tak dapat diimbangi oleh pahitnya suatu masalah. Namun minimalnya, kita bisa tegar, mandiri, dan percaya diri dalam menghadapi suatu peristiwa sesulit dan sesakit apapun. Meskipun tidak kita pungkiri bahwa “keinginan positif” itu masih selalu berpapasan dengan “keinginan ocial e” kita. Pada salah satu baris puisinya penyair berkata: ia ingin mengutuki dirinya jadi batu atau serumpun pohonan ocial tempat ocial tanah ini terlahir. Dari dua kalimat di atas dalam puisi tersebut jelas terlihat adanya dua keinginan sang ibu yang kontras. Di satu sisi, ia ingin menjadi “manusia” tak berguna (dampak keputusasaan) namun di sisi lain, ia ingin menjadi seorang yang berguna (khususnya bagi anak-anaknya).

Adakah dua kontras keinginan “sang ibu” tersebut mengindikasikan keragu-raguan penyair dalam menentukan watak “ibu” sebagai tokoh sentral dalam puisinya? Jawabannya, mungkin saja ya! Saya melihat, Irianto Ibrahim setengah hati dalam memberikan watak “tangguh” kepada “sang ibu”. Entah karena tidak ingin terlalu meloncat dari keumuman bahwa perempuan adalah kaum yang lemah, atau akibat kesadaran sosialnya bahwa siapapun dia yang menghadapi masalah seperti yang dihadapi sosok “ibu” – laki-laki maupun perempuan – tetap akan merasakan kesedihan mendalam yang dapat membuat keteguhan hatinya berubah-ubah (kadang ingin menjadi kuat, kadang pasrah dengan kekalahan).

Namun pada kalimat berikut, Irianto Ibrahim terkesan berani melompati keumuman: ia ingat putrinya yang minta kapal-kapalan. Di larik ini, kapal-kapalan tidak lagi hanya menjadi mainan dambaan bagi anak laki-laki, tapi sudah didambakan pula oleh anak perempuan. Dalam keumuman tersebut penyair berhasil menghindari bias gender. Namun coba Anda simak kalimat-kalimat berikut: dada seorang ibu yang tak sanggup memberi/…dada seorang ibu yang menyuruh anak-anaknya mengatup bibir mereka sebelum tersenyum. Sebegitu rapuhkah perempuan yang kehilangan seorang suami di mata penyair? Hingga posisi “single parent” yang dijalani seorang “ibu” dianggapnya tak akan sanggup memberi (sesuatu kepada anak-anaknya).

Lalu bagaimana dengan larik berikut? Ia, seorang ibu yang hanya memiliki sebatang pinsil untuk sketsa keluarga, dengan wajah sang suami yang sengaja akan disamarkan. Jelas mengindikasikan bahwa sang “ibu” tak sanggup untuk menceritakan kepada anak-anaknya tentang jati diri sang Ayah jika kelak mereka (yang masih kecil) tumbuh dewasa dan menanyakan sebab Ayahnya meninggal. Atau tak perlu menunggu hingga mereka dewasa, saat masih kecilpun seorang anak secara natural akan menanyakan sosok Ayahnya yang sudah tak dilihatnya bersama-sama mereka lagi. di punggungnya, ribuan tanda / dipikulkan anak-anaknya/ yang melarangnya berbaring/ yang dijawab dengan tatapan mata berkilat-kilat. Atau, sengaja disamarkan karena sang “ibu”pun tidak sanggup untuk menanggung cemooh dari orang lain perihal suaminya yang pernah dituding sabagai anggota PKI. Ini menunjukkan bahwa penyair memang belum nrimo (kata wong Jowo) jika harus menuliskan tentang perempuan yang tegar seutuhnya setelah kehilangan seseorang yang sangat dicintainya. Tapi sekali lagi,puisi ini hanyalah sepenggal potret dari sebuah proses kehidupan yang dijalani seorang “ibu” sepeninggal suaminya. Dan kesedihan seperti itu lumrah dialami oleh setiap manusia – siapapun ia.

Kini kita sedikit bergeser dari realitas sejarah ke realitas dan berbagai permasalahannya yang di angkat oleh penyair ke dalam puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu.

Sebagai anggota masyarakat, penyair juga memiliki hak dan tanggungjawab untuk memelihara sopan santun dan tata ocia dalam menuliskan realitas ocial yang terjadi di sekitarnya. Jangan sampai puisi-puisinya menyinggung atau menyakiti pihak tertentu, apalagi sampai menulis kebohongan terhadap realitas. Dengan memenuhi kewajibannya itulah, masyarakat akan memberi respon yang setimpal terhadap karya-karya yang dihasilkannya.

Inilah yang berhasil dilakukan Irianto Ibrahim dalam puisinya Sekantong Luka dari Seorang Ibu. Keadaan masyarakat Buton pasca pergulatan sejarah Buton 1969 ia gambarkan lewat Sekantong Luka dari Seorang Ibu yang memuat berkantong-kantong luka masyarakat Buton lainnya – luka kita smua. Seorang Ibu yang masih harus berjuang membesarkan anak-anaknya tanpa sang suami di sisinya. Dan kisah “ibu” ini telah mewakili kisah sekian banyak istri korban kelamnya sejarah Buton tahun 1969 yang juga telah menelan nyawa suami mereka.

Dalam puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu, hubungan antara Ibu, Ayah, dan anak dijalin penyair dengan intensitasnya masing-masing. “ibu” sebagai tokoh sentral lebih banyak bersosialisasi dengan anak-anak dan suaminya (meskipun lewat kenangan dan keinginan semata). Ia iangin menjadi jembatan, tempat anak-anaknya menyebrangi cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah, namun suara tertahan dari leher tercekik tak sempat memandunya berdoa/… ia ingat putrinya yang minta kapal-kapalan/… di punggungnya, ribuan tanda ocia dipikulkan anak-anaknya /…lalu dibasuhnya muka merahnya dengan darah suaminya/… ia inginkan pelukan dari seorang suami/… ia masih khusyuk menciumi sobekan kafan yang tak sempat ia balut pada tubuh suaminya.

Untuk menggambarkan interaksi sang “ibu” terhadap masyarakat di lingkungannya saat itu, penyair menulis: … sebab baginya kaki-kaki kursi yang diinjakkan pada kuku-kuku kaki suaminya tak pernah benar-benar mengenal rasa sakit…/… semacam perisai para tentara yang disarungkan pada tangan sebelah kiri/… seorang ibu yang tak dibolehkan mengucap tahlil saat pemakaman suaminya/ yang meronta dan menangis, sambil mengintip dari kangkangan kaki kekar penggali kubur tanpa rasa iba di wajah mereka/… sebab seusai shalat subuh, saat para nelayan telah kembali ke dada istri-istrinya…/ Pada beberapa larik inilah penyair mampu menjaga sopan santunnya dalam menulis. Penyair mampu memekan emosinya agar tidak lebih kuat dari imajinasinya. Sehingga karyanya begitu “ramah” meskipun kisahnya diangkat dari sebuah realitas sejarah yang tidak bersahabat.

Sedangkan untuk menggambarkan interaksi sang “ibu” terhadap daerah dan lingkungan alamnya, penyair menulis: di sebelah sana: di ujung pantai terjauh, ia melihat kapal-kapal mengibarkan ocia dan memasang lampu-lampu/…dada yang menampung sunyi nyanyian mantra para tetua adapt/… darah yang kemudian hari akan ia larung ke laut banda/… pelukan terakhir yang ingin ia bingkai dengan pelepah pisang atau patahan ranting pohon jarak dari kuburan itu. Buton yang terkenal dengan keindahan pemandangan alam dan lautan birunya yang membentang luas, terkesan tidak ingin diabaikan penyair dalam puisinya ini. Meskipun dengan sisi kesederhanaan Buton, penyair tetap berhasil memperlihatkan aura Buton sebagai salah satu daerah ocial e di tanah air. Selain itu penggambaran alam yang dilakukan penyair juga telah bersifat khusus meski dengan frase yang paling sederhana sekalipun: pelepah pisang, patahan ranting pohon jarak, dan laut banda. Pemilihan ketiga “benda” itu jelas berdasar atas pengetahuan penyair bahwa di Buton tumbuh (ditanam) pohon pisang dan pohon jarak, serta pengetahuannya terhadap batas-batas daerah Buton, di mana daerah Buton sebelah timur berbatasan dengan laut banda. Atau pohon pisang dan pohon jarak hanya tanaman “kira-kira” yang tumbuh di kepala penyair ketika menuliskan baris ini? Karena pohon yang paling dekat dengan gambaran kesederhanaan diantaranya adalah pohon pisang (dengan pelepahnya) dan pohon jarak (dengan patahan rantingnya). Atau penyair memang tahu bahwa di sekitar makam suami sang “ibu” tumbuh kedua pohon tersebut?

Dan satu hal yang terpenting adalah penyair tidak lupa untuk memberikan apresiasi kepada tokoh “ibu” dalam puisi yang ditulisnya. jangan bilang ia tak sempat meneteskan embun untuk bunga-bunga di halaman rumahnya. Inilah yang menjadi interaksi ocial paling bersahaja dalam puisi ini. Sebab dari kalimat tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa sosok “ibu” dengan “sekantomg luka” yang dipikulnya, mampu bangkit demi masa depan anak-anaknya – demi berserinya kembali kehidupan keluarganya. Sebab seusai shalat subuh, saat para nelayan telah kembali ke dada istri-istrinya, ia masih khusyuk menciumi sobekan kafan yang tak sempat ia balut pada tubuh suaminya. Maka hanya dengan mendekatkan diri pada Tuhan, niscaya keikhlasan akan menjadi hal termudah untuk dilakukan. Di mana penyair hadir untuk membagi sebanyak-banyaknya makna kepada para pembacanya,

Irianto Ibrahim pun telah melakukannya. Ia ikhlas membagi sebanyak-banyaknya makna kepada para pembacanya dengan kesadaran bahwa puisi bukan sekedar sarana hiburan. Tapi lebih dari itu, puisi merupakan salah satu sarana edukasi. Maka secara umum, Irianto Ibrahim telah berhasil memberikan banyak pelajaran sejarah plus-plus kepada para pembaca dan calon pembacanya lewat Sekantong Luka dari Seorang Ibu.



Read On 0 komentar

PESAN MORIL SEPASANG BALING-BALING KARYA DEA ANUGRAH

06.47
Oleh: Sitti Rahmawati (A1d1 09 070)


Puisi merupakan salah satu genre(jenis) karya sastra yang mengalami perkembangan yang sangat cepat. Jika dulu kita masih sangat terikat dengan bentuk puisi lama yang begitu konvensional, kini perlahan bahkan lazim kita menjadi bebas dengan semua keterkaitan pada konteks berpuisi terdahulu. Lebih tepatnya sekarang dikatakan puisi bebas, di mana sudah tidak ada lagi pembatasan pada bentuk yang harus diikuti. Selain itu, juga ada aspek isi. Kesan bebas sepertinya mengilhami banyak penulis puisi untuk bereksplorasi dengan puisi dewasa ini. Kebebasan dalam berpuisi misalnya ditunjukan dengan bentuk puisi yang pendek (sajak pendek) ataupun puisi yang berupa cerita atau narasi panjang dengan muatan makna yang banyak pula tentunya.
Dea Anugrah misalnya, salah satu penulis muda yang kebanyakan puisi-puisinya berbentuk sebuah cerita pendek, yang dipotret dari lingkungan sekitarnya, misalnya puisi” Tanggal 14 bulan ini, Sepak bola, Menjelang Liburan, Bocah Belang, Sepasang Baling-baling, yang termaktub dalam buku kumpulan puisi Penulis(itu)Bodoh.
Penulis ini lahir di Pangkal Pinang, 27 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen dan esei dalam Bahasa Indonesia. Semasa SMA bergiat di Bengkel Sastra SMA N 1 Sungailiat. Saat ini sedang menumpuk pendidikan di Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (angkatan 2008) dan bergiat di Komunitas Sastra Rawarawa (KSSR). Karya-karyanya berupa puisi di muat dan disiarkan melalui sejumlah media lokal maupun nasional. Penyair (itru) Bodoh adalah buku puisinya yang terbit pertama kali. Dan dua karyanya yang belum di terbitkan yang termaktub fakta dalam buku kumpulan puisi: Ziarah Kitab Bumi dan Sepasang Baling-baling. Sekarang ini sedang menyiapkan buku kumpulan puisinya yang ke tiga: Lampu serangga musim panas
Dea Anugrah sendiri memilih untuk menjadi penyair karena gemar mabuk puisi dan berbulat tekad untuk meminangnya. Setelah menikah,belakangan semakin memantapkan diri berada dijalur poligami, hidup dengan istri-istri kekasih: bulan,malam,buku dan puisi
Dalam kaca mata saya sosok Dea Anugrah adalah sosok yang sangat antusias dalam bidang sastra khususnya puisi. Diusianya yang tebilang cukup muda Dea Anugrah telah menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi dan karya-karyanya ini telah “mewabah” di masyarakat.
Dari beberapa puisi Dea Anugrah yang termaktub dalam buku kumpulan puisi Penyair (Itu) Bodoh, saya tertarik untuk mengkaji puisinya yang berjudul Sepasang Baling-Baling. Dalam puisi Sepasang Baling-Baling ini lebih mudah untuk dikaji karena bahasa yang digunakan cukup komunikatif.
Berikut ini lampiran puisi Sepasang Baling Baling:

Sepasang Baling Baling

Abang tukang mainan
Lewat di depanku
Ia belumterlalu tua, mungkin sebaya ayahku
Wajahnya tampak lelah, berpeluh
Berdebu
Tapi senyumnya ramah
Sampai-sampai aku pun tahu dua giginya ompong

Ia menyapaku
Aku mengajaknya beristirahat sejenak
Sejenak saja
Jujur saja, aku tak tega melihatnya
Tapi ia menolak
Katanya : “anakku belum makan”
Kulihat arloji jam empat sore

Ah, aku iba
Kubeli sepasang baling baling darinya
Ia berterima kasih, lalu pergi, kembali menjaja dagangannya
Jadilah balin baling itu ku bawa dalam tasku

Tapi kemarin aku kehilangan sepasang baling baling kesayanganku
Lebih tepatnya kukasihkan ke orang lain
Seorang anak kecil
Ia meminta dariku
Saat kutanya untuk apa, ia tak menjawab
Sudalah kuberikan saja
Tapi aku penasaran juga, kuiti anak itu
Cukup jauh hingga sampai di komplek perkuburan yang dinamai “orang miskin orang pinggiran”
Ia mencari cari sebuah kubur
Diamdiam kuikuti terus
Hingga kulihat ia berhenti di samping sebuah kuburan sederhana
Yang agak jauh dari kuburan lainnya
Dekat situ ada baliho besar tertuliskan, “rakyat melarat, sampah masyarakat”
si anak tersenyum pada (kuburan itu)
sayup terdengar : “ayah, ini kubawakan sepasang baling
baling untukmu,moga kamu tak kesepian lagi.
Ah, aku sebaiknya pergi saja
Pulang ke tubuhku
Tubuh anak itu


Abang tukang mainan adalah larik pertama dari puisi Sepasang baling-baling. Entah mengapa ketika membaca larik tersebut rasanya sangat tidak asing ditelinga saya, padahal puisi Sepasang baling-baling ini baru pertama kali saya baca. Setelah membaca berkali-kali dn mengingat-ingat larik tersebut ternyata larik abang tukang mainan ternyata mirip dengan penggalan lagu anak-anak karya yaitu abang tukang bakso. Larik tersebut membuat saya rasanya ingin kembali ke masa kecil. Larik abang tukang mainan secara tidak langsung menunjukkan sisi “kekanak-kanakkan” sosok Dea Anugrah yang memang masih sangat muda. Ini terlihat dari beberapa judul puisinya yang lain seperti : tanggal 14 bulan ini, sepak bola, bocah belang, gadis manis yang menghiburku dengan cerita paling lucu, dan lain sebagainya. Puisi tersebut bukan semata-mata menunjukkan sosok Dea yang masih remaja, tetapi di dalamnya mengandung pesan-pesan moril ala ABG.
Dalam puisi yang berjudul Sepasang Baling-baling karya Dea Anugrah ini menceritakan tentang kisah kehidupan rakyat kecil yang hidup dan waktunya selalu di manfaatkan untuk mencari sesuap nasi,terlihat pada larik: ia menyapaku/aku mengajaknya beristirahat sejenak/sejenak saja/jujur saja, aku tak tega melihatnya/ tapi ia menolak/ katanya:”anakku brlum makan”/kulihat arloji, jam empat sore.
Larik tersebut menunjukan betapa “kerasnya” kehidupan yang dijalani,oleh abang tukang mainan ini untuk mencari sesuap makanan saja,bahkan tak ada waktu untuk beristirahat sejenak. Yang lebih memprihatinkan lagi ketika orang tersebut meninggal,tempat perkuburannya di berikan nama khusus orang miskin orang pinggiran dan di daerah sekitar situ terdapat baliho besar bertuliskan rakyat melarat,sampah masyarakat.
Ironis rasanya,orang miskin cenderung di selewengkan,dikebawahkan,dianak tirikan,atau didiskriminasikan. Ketika seseorang kembali ke asalnya (meninggal) semuanya sama akan kembali ke tanah (kuburan). Namun di sini penulis menunjukann betapa terdiskriminasinya rakyat atau orang-orang kecil. Bahkan ketika matipun/meninggal,perkuburan orang miskin atau rakyat kecil diberikan nama khusus “orang miskin orang pinggiran”.
Menurut saya hal demikian tidaklah berprikemanusiaan. Bahkan terdapat sebuah baliho besar bertuliskan “rakyat melarat,sampah masyarakat”. Baliho merupakan suatu produk yang menyerupai poster tetapi lebih besar. Sungguh hal yang tidak pantas sebuah baliho di tempat seperti itu. Padahaal masih banyak penempatan baliho-baliho yang tepat seperti dijalan raya misalnya bertulis “Hindarilah Narkoba, para pemuda adalah Aset Negara,”.
Saya rasa hal seperti itu akan lebih bermanfaat bagi Negara ketimbang memasang baliho besar di kompleks perkuburan. Kalau memang harus ada sebuah baliho,mengapa baliho tersebut tidak bertuliskan “kuburan umum” saja,tanpa harus mengkhusus-khususkan tempat/kompleks kuburan bagi orang-orang kecil.
Jika kita melihat tingkat kemiskinan di Indonesia memang cukup tinggi. Prediksi tingkat kemiskinan tahun 2010,BPS:berkisar 14,15%. Jadi, bisa kita bayangkan jika semua kompleks perkuburan orang miskin ditulis “orang miskin orang pinggiran” atau “rakyat melarat, sampah masyarakat”. Betapa banyaknya baliho yang dibutuhkan untuk hal-hal yang menurut saya sangat tidak penting. Atau mungkin jika tempat itu tempat orang-orang “berada” atau orang kaya,balihonya bertuliskan “kompleks perkuburan orang kaya orang terpandang” atau mungkin “rakyat bahagia bunga masyarakat”. Sungguh hal yang lucu jika seperti itu jadinya.
Saya rasa Negara kita benar-benar membutuhkan sosok pemimpin yang tidak hanya bertekad untuk mensejahterakan rakyat,memajukan pendidikan,menggelar bantuan subsidi,mendirikan pusat kesehatan gratis di mana-mana,dan lain sebagainya. Tetapi, wujud nyata dari tekad-tekadnya itu sangat diharapkan, bukan hanya sekedar “air ludah yang bermuncratan”. Negara kita sangat membutuhkan sosok pemimpin yang dekat dengan rakyat dan menyatu dengan rakyat, terlebih bagi rakyat atau orang-orang kecil.
Dalam puisi Sepasang Baling-Baling penulis cenderung melakukan “permainan tokoh” untuk mengecoh pembacanya. Namun, permainan tokoh itulah yang kemudian membuat puisi tersebut menjadi menarik, karena pembaca terkesan penasaran terhadap tokoh anak kecil yang pada bait terakhir dijelaskan bahwa “aku lirik” ingin kembali ke tubuhnya-tubuh anak kecil itu: Ah,aku sebaiknya pergi saja/, Pulang ke tubuhku/, Tubuh anak itu/
Kemudian muncul pertanyaan dibenak saya, mengapa “aku lirik” keluar dari tubuhnya, apakah yang ia cari? Atau tiga larik tersebut, hanya ingin menggambarkan bahwa “aku lirik” ingin seperti anak itu?
Menurut saya, Dea tidak begitu pandai untuk membuat taktik dalam menyembunyikan makna bait terakhir tersebut. Lihatlah baris-baris berikut: abang tukang mainan/ lewat didepanku/ ia belum terlalu tua, mungkin sebaya ayahku. Jelas baris-baris ini, dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Jika ‘anak kecil’ adalah aku lirik maka otomatis ayah aku lirik juga telah meninggal. Namun, mengapa pada baris di atas, penyair membandingkan usia abang tukang mainan yang masih hidup dengan usia ayahnya yang sudah meninggal? Bukankah itu tidak logis? Atau hal tersebut menunjukan bahwa bait terakhir yang menjadi klimaks cerita, tidak direncanakan sebelumnya untuk seperti itu? Atau ini hanya merupakan kekurangtelitian Dea Anugrah?
Menurut saya, Dea Anugrah dalam puisi sepasang baling-baling berhasil menghasilkan cerita yang apik dengan tema, tokoh, alur, dan latar yang menarik. Tapi, membaca cerita tersebut, membuat saya hampir-hampir lupa bahwa teks tersebut adalah sebuah puisi. Pemilihan kata yang dipilih oleh penyair dari bait pertama hingga bait ke enam menurut saya sangat bertele-tele. Sehingga, saya merasa nyawa puisinya hanya pada bait terakhir saja.
Pada beberapa baris ada semacam baris pengikut yang tegas yang menurut saya cukup membari efek “slow motion” pada puisi ini misalnya: aku mengajaknya beristirahat sejenak/ sejenak saja/. . .aku kehilangan sepasang baling-baling kesayanganku/ lebih tepatnya kukasihkan ke orang lain/ seorang anak kecil.
Namun, terlepas dari semua itu, Dea Anugrah dalam puisinya Sepasang Baling-Baling mampu menghadirkan realitas sosial dengan bahasa yang sederhana, namun mampu mengetuk kesadaran para pembacanya terutama generasi muda. Dea melukiskan tentang kesahajaan abang tukang mainan, kebaikan aku lirik, dan kemiskinan anak kecil yang secara umum mewakili keadaan sosial masyarakat Indonesia.



Read On 0 komentar

Total Tayangan Halaman

Zona Kendari

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign


Universitas Haluoleo

Kedai Estetik : Berbahasa dengan jujur.

merupakan ruang publikasi Mahasiswa | Program Mata Kuliah kajian Puisi tahun 2010/2011 | Program Studi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan | Universitas Haluoleo | Kendari Sulawesi Tenggara Indonesia.

Recent Comments kedai estetik