cakrawala
Selamat datang di ruang ulasan puisi Kedai Estetik (kelas kajian puisi angkatan 2009 Universitas Haluoleo)

RENUNGAN KLOSET: RENUNGAN TENTANG KEKUATAN PEREMPUAN DALAM MENUMBANGKAN HEGEMONI PATRIARKI

10.42
oleh: La Ode Gusman Nasiru

        Penyair kenamaan Indonesia, Seno Gumira Adjidarma, pernah berkata dalam tulisannya Kata Pengantar untuk buku kumpulan puisi Renungan Kloset bahwa puisi memang tidak bisa menunda kematian manusia yang sampai pada akhir hidupnya, tapi puisi jelas menunda kematian jiwa dalam diri manusia yang masih hidup. Penundaan demikian tidak datang dengan sendirinya. Tidak tiba-tiba seperti buah apel yang jatuh ke tanah karena pengaruh gravitasi, begitu kata hukum fisika. Puisi membantu keberlangsungan hidup jiwa-jiwa manusia sebab ia mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin. Barangkali definisi puisi yang ditelurkan dari buah pemikiran Ralph Waldo Emerson tersebut dapat sekaligus memberi pemahaman tentang benang merah antara hidup, puisi, dan kematian yang tertunda.
Puisi-puisi yang tertuang dalam buku kumpulan puisi Renungan Kloset memberi banyak pelajaran kepada pembaca (baca: penafsir). Pelajaran itu begitu akrab dengan kita sebab tema-tema yang menjadi gagasan utama dalam kumpulan tersebut begitu dekat dengan kita dalam konsep kehidupan (sosial). Bukankah semua puisi juga demikian? Puisi-puisi dalam Renungan Kloset begitu lekas membekas dalam ingatan dan pemahaman para pembaca. Ia seperti tumpahan kopi samping roti sarapan pagi yang menodai taplak putih meja makan. Relatif susah dibersihkan. Sebab renungan kloset adalah renungan paling privasi dan intensitas keterjadiannya sangat tinggi.
Tema-tema tersebut membahasakan politik, orang-orang kecil, Tuhan, cinta, dan kehidupan lelaki—perempuan (atau sebaiknya perempuan—lelaki?) yang berkelindan. Tema terakhir kemudian menjadi hal yang memiliki stimulus lebih besar bagi saya, sehingga membuat saya terangsang untuk menjelaskan secara eksplisit kepada pembaca.
Tidak semua puisi di dalam kumpulan sajak karya Rieke Diah Pitaloka tersebut menjadi pokok identifikasi pemaparan saya terhadap tema terancang. Bahkan, hanya dua yang saya anggap cukup untuk mewakili beberapa puisi yang relevan dengan ambisi perempuan dalam menumbangkan patriarki. Ialah Ibu dan Libas. Dari keempat puluh satu puisi yang ditulis dalam rentang 1998 sampai 2003, ada beberapa yang memang secara gamblang merumuskan hubungan laki-laki dan perempuan sebagai tema sentral. Puisi-puisi tersebut yakni Ibu, Mempelai Wanita, Waktu tak Pernah Berbohong, Libas, dan Sepenggal Adegan. Namun demikian, ada juga puisi yang lain yang meskipun tidak memfokuskan ide terhadap hubungan laki-laki—perempuan, tetap juga memasukkan pokok pemikiran tersebut secara implisit ke liuk arus kalimat yang mengalir dalam gelombang puisi.
        Jika paper ini menjadikan puisi sebagai objek wacana, tentu ada alat yang digunakan sebagai pisau kaji untuk menguliti objek tersebut. Konsepnya sederhana, setiap buah yang kulitnya tidak dikonsumsi pasti memerlukan pisau tajam untuk mengupasnya dan memakan bagian inti yang diperlukan. Teori feminis dianggap paling pantas untuk menguliti (baca: menelaah) buah (baca: puisi) teranalisis. Dengan demikian, akan lebih bijak jika kita terlebih dahulu berkenalan dengan teori yang dimaksud.
Feminisme merupakan sebuah teori yang menganggap polarisasi laki-laki dan perempuan bukanlah hal yang bijaksana untuk diterapkan dalam kehidupan sosial kedua kubu makhluk tersebut. Legitimasi tentang pembedaan anak Adam dan Hawa hanya dibenarkan jika dipandang dari sudut seksual atau jasmaniah. Sedangkan sistem kebudayaan dan lingkungan sosial bukan tempat yang sahih untuk mempertentangkan perbedaan kodrati.
        Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (women), berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbedaan biologis, sebagai hakikat alamiah), masculine dan feminin (sebagai aspek perbedaan psikologis dan kultural). Dengan kalimat lain, male-female mengacu pada seks, sedangkan masculine-feminine mengacu pada jenis kelamin atau gender, sebagai he dan she (Selden dalam Ratna, 2008: 184).
        Lebih jauh Ratna mengemukakan bahwa tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan yang dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian lebih sempit, yaitu dalam sastra, feminis diaktikan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Emansipasi wanita dengan demikian merupakan aspek dalam kaitannya dengan persamaan hak. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan kesetaraan gender.
Pemaparan teori feminisme di atas sedikit banyak akan membantu mempermudah pemahaman terhadap perkawinan konsep alat kaji dengan objek terkaji.
Sebelum berbicara banyak mengenai isi kedua puisi Ibu dan Libas yang masing-masing ditulis pada tahun 1998 dan 2001, terlebih dahulu perhatikan kedua sajak di bawah ini.

                 IBU

                 Aku dilahirkan dalam deras hujan Februari,
                 saat dingin menyelimuti
                 ruas-ruas hatimu
                 dalam dendam yang membatu
                 tangisku
                 membunuh hening yang mencekam beribu jiwa

                 Tahun ke tahun berpaling dariku
                 tanpa jejak keindahan
                
                 Ibu,
                 siapa yang merenggut kasih dalam jiwamu?
                 menghempaskannya ke dasar laut
                 dan aku tahu
                 kau besarkan anakmu
                 dalam sisa-sisa kemanusiaan
                 dalam beban nurani yang tak terpungkiri
                 Aku tak merestui kebencianmu,
                 namun aku tak akan mengutukmu

                 Ibu,
                 apakah kau akan tetap memelihara
                 bongkahan bara itu,
                 hingga ragamu lebur,
                 hangus tanpa cahaya?
                 Atau,
                 katakan siapa yang memperkosamu!

                 Pilihlah yang terakhir
                 aku berjanji,
                 akan mengejarnya
                 akan kutikamkan segenap kepedihanmu

                 ijinkan,
                 meski ia ayahku sendiri

                 Jakarta, 15051998



                 LIBAS

                 Aku kuda betina
                 berlari kencang menuju batas labirin
                 tak ada yang mudah
                 berkelok
                 menikung
                 menanjak
                 turun naik berjuta lembah
                 Namun, aku tak pernah lupa menebar asmara
                 pada dinding beku
                 pada rumput kerontang
                 Maka, bersemilah kuncup-kuncup lavender
                 mengangguk, tersenyum
                 gairah,
                 mengusapkan wewangian ke tubuh liarku
                 Aku kuda betina
                 melesat menuju batas langit
                 tak ada jantan yang mudah
                 mendekatiku
                 apalagi hanya berbekal seonggok birahi
                 Mau,
                 lakukan
                 akan kusepak,
                 sampai terjerembab memeluk bumi
                 bagai janin meringkuk dalam rahim
                
                 Aku kuda betina
                 berlari menembus batas labirin
                 juraiku terkembang
                 mencium angin yang setia menunggu

                 Tebet, 24062001

        Betapa ekstrem gagasan “pembangkangan” Rieke terhadap stigma sosial tentang subordinasi perempuan. Dijelaskan oleh Pradotokusumo (2002: 59) bahwa feminis mempermasalahkan prasangka dan praduga terhadap kaum perempuan yang dibentuk oleh kaum laki-laki, dan sedikit pun tidak membiarkan kecenderungan kaum laki-laki menjerumuskan kaum perempuan untuk berperan menjadi tokoh yang diremehkan. Pada puisi Ibu, asumsi saya mengarah kepada maksud Rieke untuk menentang segala bentuk peremehan eksistensi perempuan dan keperempuanan.
        Larik yang berbunyi: siapa yang merenggut kasih dalam jiwamu? membawa pemahaman kita ke dasar pemikiran si aku lirik yang tidak ingin dijadikan tokoh yang diremehkan. Maksud pembangkangan tersebut, ia lesapkan ke dalam kisah ibunya sebagai perempuan yang diremehkan. Artinya, dapat disimpulkan bahwa subjek yang merenggut sesuatu dari objek memiliki anggapan objek tidak memiliki kemampuan bertahan yang memadai. Anggapan tersebut berimplikasi pada sikap meremehkan objek sehingga menimbulkan laku renggut. Pada hakikatnya, sikap Rieke berpijak pada satu landasan keyakinan bahwa—setidaknya dari potongan larik di atas—dominasi laki-laki masih kokoh berdiri di atas unsur keperempuanan. Dan siklus marginalisasi hanya bisa dihentikan dengan perlawanan terhadap hegemoni patriarki.
        Peremehan tersebut mengendarai satu masalah penting yang menjadi fokus permasalahan feminisme. Unsur subordinasi atau penempatan kedudukan perempuan di bawah derejat laki-laki juga mewabah dalam pengalaman batin penyair, sehingga ia memunculkan pertanyaan selidik kepada perempuan siapa yang merenggut kasih dalam jiwamu? dengan mempertahankan praduga bahwa subjek dalam perenggutan itu adalah laki-laki yang secara eksplisit dihadirkan melalui larik meski ia ayahku sendiri.
Dalam keterpurukan kata turunan peremehan, penyair berusaha membuktikan bahwa perempuan memiliki kelebihan luar biasa dalam aspek psikologi dan manajemen emosi. Kedua hal tersebut terasa begitu krusial sebagai cara untuk bertahan hidup. Hal tersebut sesuai dengan larik: kau besarkan anakmu/ dalam sisa-sisa kemanusiaan/ dalam beban nurani yang tak terpungkiri.
        Larik di atas menunjukkan kebesaran jiwa dan kemampuan perempuan sebagai upaya resistensi dalam mengatasi jebakan lingkaran masa lalu yang kelam. Kehalusan jiwa perempuan menimbulkan getaran mistik yang mampu memberikan sekian porsi pemikiran kepada kenangan dan selebihnya mempersiapkan keutuhan jiwa untuk memasuki babak kehidupan yang baru. Jiwa keperempuanan yang subtil menjadi pembeda sekaligus keunggulan kaum perempuan dibandingkan laki-laki. Dan laki-laki tidak dapat menolak hal itu. Kesubtilan itu tergambar pada larik dalam Libas: namun aku tak pernah lupa menebar asmara/ pada dinding beku/ pada rumput kerontang// maka, bersemilah kuncup-kuncup lavender/ mengangguk, tersenyum/ gairah,/ mengusapkan wewangian ke tubuh liarku//.
        Lihatlah, betapa dengan segala kelembutan itu perempuan masih mampu melawan bahkan bilamana perlu berpotensi untuk mendominasi.
        Anggapan Pradopo pada bagian terdahulu juga tepat untuk dijadikan titik pijakan terhadap larik: tak ada jantan yang mudah/ mendekatiku/ apalagi hanya berbekal seonggok birahi dalam puisi Libas. Kompleksitas superioritas laki-laki tampak juga menjadi bahan baku dalam larik di atas. Larik tersebut mengisyaratkan anggapan laki-laki terhadap perempuan dalam urusan cinta asmara. Secara generik, laki-laki beranggapan bahwa pada umumnya perempuan dapat ditaklukkan di bawah kekuasaan laki-laki dengan modal nafsu birahi. Pada kenyataannya dugaan konvensional tersebut kemudian ditumbangkan dengan buas oleh larik puisi di atas bahwa perempuan memiliki kesucian yang luhur. Sehubungan dengan itu, mereka memiliki kekuatan yang mahadasyat untuk menumbangkan setiap laki-laki yang mendekat dengan maksud pemuasan nafsu belaka. Perempuan memiliki kekuatan kuda betina yang berlari kencang menuju batas labirin/ tak ada yang mudah/ berkelok/ menikung/ menanjak/ turun naik lembah. Dengan pembuktian kekuatan dan kekuasaan atas dirinya, argumen apa lagi yang dapat dikemukakan sebagai pembenar bahwa perempuan dapat sekenanya dijadikan objek peremehan laki-laki?
        Pemaparan tentang penolakan anggapan peremehan cakupan unsur keperempuanan oleh hegemoni patriarki di atas, setidaknya memberi gambaran bahwa banyak opsi dan alternatif yang dapat dilakukan oleh perempuan sebagai sumber kekuatan mereka untuk menumbangkan kuasa lelaki dan/atau stigmanya yang membudaya. Kekuatan perempuan yang multi tersebut bertujuan agar kesadaran kultural yang selalu memarginalkan perempuan dapat diubah sehingga keseimbangan yang terjadi adalah keseimbangan yang dinamis.
        Selain itu, pembangkangan perempuan dengan mengedepankan akumulasi himpunan kekuatan mereka dalam upaya menolak inferioritas—perempuan adalah laki-laki yang tidak utuh—juga terdapat dalam larik-larik lain kedua puisi tersebut. Muaranya tetap, membongkar pemahaman peminggiran perempuan, representasi perempuan sebagai ‘yang lain’, dengan pertanyaan metaforis “Di manakah dia?”.
        Lebih jauh menyelam di kedalaman makna larik: Aku tak merestui kebencianmu, namun aku tak akan mengutukmu dalam Libas, penyair kembali menunjukkan kemapanan esensinya sebagai makhluk yang selalu “dinomorduakan”. Betapa kokoh pemikiran itu berakar menjalar ke dalam seluruh urat saraf per kepala perempuanmemiliki kesadaran. Pembuktian yang cukup membuat saya tersentak ialah perempuan bahkan memiliki kuasa untuk menghujat dirinya sendiri—perempuan lain yang melahirkan dan menjadi ibunya. Aspek yang dipentingkan dalam hal ini ialah kebebasan perempuan yang berdiri menjadi dirinya sendiri sebagai makhluk yang utuh di tengah lingkaran kultural. Konsekuensi logisnya ialah perempuan tidak segan-segan mencemooh dirinya jika sedang berdiri pada jalur kesalahan yang nyata, apatah lagi orang lain—laki-laki yang bersalah dan menjadikan perempuan sebagai objek atas anomali suatu sikap. Keabnormalan sikap yang ada pada luar diri perempuan dan menjadikan perempuan sebagai korban akan melahirkan suatu dampak yang serius: perlawanan perempuan!
        Feminisme menjadi endemis dalam Ibu dan Libas. Kedua puisi itu menjadi material bagi penyair untuk mendekonstruksi aspek sosial historis yang menjerat perempuan ke dalam dikotomi sentral marginal, superior inferior (Ratna, 2008: 185).
        Upaya dekonstruksi semakin gamblang tampak pada larik Ibu: atau/ katakan siapa yang memperkosamu!// Pilihlah yang terakhir/ aku berjanji,/ akan mengejarnya/ akan kutikamkan segenap kepedihanmu// ijinkan,/ meski ia ayahku sendiri//. Larik dalam puisi Libas juga merepresentasikan tindak penghancuran kebudayaan laki-laki yang telah mapan. Tak ada jantan yang mudah/ mendekatiku/ apalagi hanya berbekal seonggok birahi// Mau,/ lakukan/ akan kusepak,/ sampai terjerembab memeluk bumi/ bagai janin meringkuk dalam rahim//.
        Kedua larik di atas sama-sama berisi tentang penolakan terhadap stigma masyarakat dan budaya yang cenderung memarginalisasi perempuan selama berabad-abad. Kondisi itu selalu menempatkan kaum perempuan hanya berfungsi sebagai pembantu, pelayan, pengganti, alternatif kaum laki-laki yang lebih kuat. Dua larik di atas dapat berperan sebagai pusat rotasi dalam dua puisi yang memuatnya. Larik-larik tersebut secara tersurat menghadirkan kompleksitas pemikiran penyair terhadap kekuatan perempuan untuk menjadi subjek dalam peristiwa, tidak melulu sebagai objek.
        Pada puisi Ibu—berdasarkan larik di atas, penyair dengan berani berlari meruntuhkan doktrin yang selalu menempatkan perempuan sebagai objek penderita dalam peristiwa. Dengan segenap kekuatan yang melahirkan semangat untuk menumpas inferioritas, perempuan bahkan mampu menghabisi laki-laki yang disimbolkan dengan kata ayah pada larik tersebut. Penyair yang mewakili perempuan tidak segan-segan untuk tampil menjadi pelaku, menjadi sesuatu yang dipentingkan dalam tradisi. Hal ini dilakukan tidak lain sebagai upaya untuk menyetarakan kedudukan atau menyejajarkan laki-laki dan perempuan agar dapat berdiri pada garis kesetaraan gender yang harmoni.
        Representasi tindakan represi itu terejawantah dalam larik: akan kutikamkan segenap kepedihanmu// ijinkan,/ meski ia ayahku sendiri//. Perlawanan kaum perempuan bahkan dapat menjadi ironi yang tidak diharapkan. Seorang perempuan dengan tidak ragu-ragu akan menikamkan (baca: membunuh) ayahnya sendiri—sebagai simbol laki-laki—atas dasar dendam yang menjadi segenap kepedihan ibunya—simbol perempuan. Hal demikian setidaknya dapat menjadi gambaran bahwa dinasti paradigma patriarkhat yang mengondisikan superioritas laki-laki sebagai makhluk penakluk dan memiliki kekuatan ekspansi serta sifat agresif dapat dihancurkan oleh kuasa perempuan. Perempuan yang pandai berpikir dan memahami potensi dirinya dapat dengan mudah mencari jalan untuk melepaskan diri dari kerangkeng patriarkhat, menjadi manusia bebas, mandiri, bahkan dapat mendominasi. Hal inilah yang dilakukan oleh penyair sebagai perempuan cendekia.
        Kuasa perempuan sebagai subjek juga terasa begitu kental dalam larik Mau,/ lakukan/ akan kusepak,/ sampai terjerembab memeluk bumi/ bagai janin meringkuk dalam rahim//. Larik tersebut memerikan deskripsi bahwa perempuan tengah berdiri pada garis kesadarannya akan potensi keperempuanan yang ia miliki. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa potensi tersebut merupakan aset sensualitas yang harus dijaga kemurniannya. Dengan begitu, segala daya upaya akan dikerahkan untuk melindungi hal itu. Pada larik demikian, perempuan berusaha membenarkan posisi kaca mata budaya patriarkhat yang ablesia bahwa mereka dapat bertindak—bahkan lebih—seperti laki-laki untuk melindungi eksistensi diri. Tindakan tersebut tidak sekadar menjadi pretensi semata.
        Perhatikan kata akan kusepak. Klausa tersebut memberi jalan pemikiran baru bahwa perempuan dapat meniru cara kerja lelaki dalam membentengi diri terhadap serangan dari luar keakuannya. Cara kerja perempuan itu bahkan akan membuat laki-laki menjadi makhluk yang lemah dan tidak berdaya bagai janin yang meringkuk dalam rahim. Sudah barang tentu, lakuan perempuan tidak semata-mata diaktualisasikan dalam perlawanan fisik, tetapi juga perlawanan psikologis atau bahkan seperti yang tertuang dalam beberapa fiksi feminisme, dengan sensualitas perempuan. Keabsurdan akan berputar seratus delapan puluh derajat menjadi suatu yang niscaya bagi budaya, ketika perempuan melakukan tindakan untuk melindungi diri dan menyejajarkan posisi mereka dalam wadah kehidupan sosial kultural.
        Ada kalimat dalam salah satu acuan saya yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memang berbeda, tetapi alasan demikian tidak lantas membuat keduanya dapat dibeda-bedakan. Jika tidak, perempuan akan membangun kerajaan sendiri demi melindungi diri. Hal demikian tentu berimplikasi pada harmonisasi kehidupan. Bukankah lelaki dan perempuan saling membutuhkan untuk terus menjalin kehidupan yang selaras dan seimbang?
        Kata penyanyi balada Ebiet G. Ade “Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.”






DAFTAR ACUAN

        Hae, Zen. 2010. Dari Zaman Citra ke Metafiksi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
        K.S, Yudiono. 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.
        Pitaloka, Rieke Diah. 2004. Renungan Kloset. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
        Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.  
                Yogyakarya:  Pustaka Pelajar.
        Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2002. Pengkajian Sastra. Bandung: Wacana.
        Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik P enelitian Sastra. 
                Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
        Udu, Sumiman. 2009. Perempuan dalam Kabanti. Yogyakarta: Diandra.




Read On 0 komentar

DIMENSI PSIKOLOGIS “ROBOHNYA SURAU KAMI” KARYA A. A. NAVIS

10.23
oleh: Siti Rabiah



       “Harapan tidak selamanya sesuai dengan kenyataan, itulah hidup. Imbasnya kecewa, marah, sakit hati, dendam kesumat, egois, bunuh diri, dan sederet bentuk ekpresi negatif yang mewarnai jiwa-jiwa manusia”. Begitulah ungkapan M. Cholis dalam ulasan artikelnya yang mencoba mengambil objek karya sastra berupa cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A. A. Navis. Demikian juga yang dialami tokoh-tokoh cerita Robohnya Surau Kami, selama manusia belum bisa menanamkan dan mempraktikannya dalam dirinya akan sifat-sifat ketuhanan yang hakiki. M. Cholis juga mencoba menguraikan secara detail dalam bentuk kata-kata yang padat, jelas dan mudah dimengerti apa arti yang ingin disampaikan oleh penulis.
        Bentuk-bentuk ekspresi jiwa yang negatif tak pernah lepas dari kehidupan manusia. Robohnya Surau Kami bertemakan berbagai aspek kehidupan misalnya aspek agama, sosial, moral, dan kemanusiaan. Aspek yang diangkat dalam cerpen ini berkisar pada permasalahan dan kondisi-kondisi sosial yang terdapat dalam masyarakat Minangkabau. Dimensi psikologis merangkum gejolak jiwa manusia yang perlu dipahami, dianalisis, dan diterjemahkan dengan jelas sehingga berpengaruh terhadap cara pandang sesorang serta berpengaruh pada pembentukan kepribadiannya. Dengan cara berpikir yang benar seseorang akan dapat mengambil keputusan yang tepat pula. Apalagi di zaman yang serba sulit ini, jiwa manusia sering dihadapkan pada sebuah situasi yang sulit. Jiwa manusia kadang mengalami benturan-benturan yang mengakibatkan timbulnya penyakit-penyakit jiwa.
        Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, pergolakan jiwa didominasi oleh tokoh kakek, seorang garin, dan penjaga masjid. Tokoh kakek digambarkan sebagai orang yang taat beribadah, hampir seluruh waktu hidupnya dihabiskan untuk beribadah dan bersujud kepada Tuhan, ia tidak bekerja serta tidak memikirkan istri dan anaknya. Kakek beribadah terus dengan harapan kelak akan mendapatkan surga di alam akhirat. Tapi pergolakan jiwa dimulai ketika tokoh Ajo Sidi membual cerita tentang dialog antara manusia yang ada di neraka dengan Tuhan. Diceritakan bahwa Haji Saleh dan teman-temannya masuk neraka padahal tidak disangsikan lagi Haji Saleh taat beribadah dan menyembah kepada Tuhan. Cerita Ajo Sidi membuat jiwa kakek bergejolak kerena hidupnya mirip dengan Haji Saleh. Wajah kakek menjadi muram, ia duduk bertopang dagu, pandangannya sayu ke depan seolah-olah sesuatu membebani pikirannya.
Perasaan yang dialami kakek adalah perasaan tidak senang yang berwujud rasa sedih, duka cita, rasa takut, dan rasa gelisah. Kakek begitu terguncang oleh cerita Ajo Sidi, perasaan sedih merupakan reaksi kejiwaan terhadap perangsang yang masuk. Perasaan tersebut muncul karena kakek mengamati, menanggapi, mengingat-ngingat, serta memikirkan tentang sesuatu permasalahan.
Peristiwa yang dialami kakek ini begitu membekas dan menekan batinnya sehingga seluruh pola perilakunya berubah. Dan puncak dari tekanan batin dan perasaan yang tak tertahankan membuat kakek memutuskan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
        Kakek memilih jalan mengakhiri hidupnya karena ia mengalami frustasi dan ketegangan-ketagangan psikologi. Frustasi merupakan reaksi kakek terhadap kegagalan mengatasi reaksi negatif dari cerita Ajo Sidi.
Dari uraian tersebut di atas bahwa pendekatan psikologis dan dimensi psikologis Robohnya Surau Kami sangat urgen karena mempelajari tingkah laku manusia. Sebagai pelajaran dalam kehidupan yang pasti, semoga gambaran peristwa-peristiwa jiwa ini akan menghantarkan manusia pada kebahagiaan dan kedamaian hidup.



Read On 0 komentar

JALAN DI BALIK “BUKIT PASIR SAJADAH YOHANA” KARYA LD. GUSMAN NASIRU

21.35
Oleh: Egan Sumaria (A1D1 09 015)


BUKIT PASIR SAJADAH YOHANA
Karya: LD. Gusman Nasiru

Seperti sayap jibril meranggas meenuhi bukit pasir yang gigil dihujani malapetaka.
Terpintal doa-doa yang terlampau kental sebagian menukil dari ayat kitab berleleran
memenuhi Gaza. Jalur ini membangun terusan air mata dari bahsa jerit kanak-kanan.
Sebagian menepi pada aroma darah. Sebab pembantaian adalah maut yang berlari
disetiap perbatasan siang dan malam.
Tepi barat. Mereka mengirim celaka disetiap ledakan rudal. Melenyapkan kampung
halaman para babi dari peta dunia apa yang lebih keu pahami selain kematian yang
amis disitu mereka telah membangun seribu prasasti depan pintu surga.
Betapapun yag menyeret diri menunjuk angka malam desembeli hak lupa mengiri setitik
harapan disela-sela aroma tangis dan jerit kematian yang telah terduga dan malu ini
kami jinjing di atas kepala memperhatian kepada dunia bahwa kami berhasi terusia
dari kami sendiri.
Jangan lupa menyapa tanah kami disetiap shalat yang kau rancang di atas sajadahmu,
Yohana.
-Ahlan wa sahlan-
03:28 a.m.
23-04-09




Dalam menganalisis puisi karya Laode Gusman Nasiru yang berjudul “Bukit Pasir Sajadah Yohana”. Saya sebagai pembaca sekaligus penyaji pemula awalnya sangat kesulitan dalam memahami makna yang tersirat dalam puisi ini. Tetpi setelah saya membaca secara saksama dan berulang-ulang saya dapat menggambarkan kejadian-kejadian atau fenomena yang terjadi yang dialami pada masa lampau ataupun masa kini.

Setelah membaca puisi secara berulang-ulang saya mencoba memahami judul “ Bukit Pasir Sajadah Yohana”. Untuk memahami judul puisi tersebut, saya berusaha mendapatkan gambaran tentang ciri-ciri dari berbagai macam kemungkinan makna yang dikandungnya. Dari proyeksi berbagai macam kemungkinan makna puisi yang berjudul “Bukit Sajadah Yohana”. Misalnya saya menemukan gambaran makna berikut :
- Gambaran tentang keadaan di negara Palestina yang merupakan kaum muslim yang penuh kehormatan yang terdapat dibagian timur tengah.
- Gambaran tentang di daerah padang pasir mengenai kehidupan dan latar belakang pertempuran yang dilancarkan Israil ke daerah palestina.
- Sebagai akibat dari keadaan tersebut, bagian daerah itu kemungkinan banyak menelan korban jiwa.

Dari proyek makna tersebut, sekarang dapat ditentukan bahwa makna dari judul puisi mengandung makna sesuatu yang tidak berarti.

Sebagai gambaran makna judul maupun gambaran makana secara umum, sekarang saya perlu menetah lebih mendalam. Jalan pertama yang saya tempuh adalah membahas makna setiap larik puisi karya Gusman asiru yang berjudul “ Bukit Pasir Sajadah Yohana”. Pada stanza pertama pemilihan kata yang berbunyi “seperti sayap jibril meranggas memenuhi bukit pasir yang gigil dihujani malapetaka”. Pemilihan kata meranggas dapat diartikan sebagai kesulitan atau juga penderitaan, namun pada kata gigil dapat dimaknai sebagai menjerit-jerit. Jadi pada larik ini jelas penyair menggambarkan suatu keadan warga yang berada di bukit pasir, keadaan disini sangat-sangat memprihatinkan dimana hampir seluruh warga yang tinggal disini menjadi sumber malapetaka.

Kemudian pada larik berikutnya yang berbunyi “ terpintal doa-doa yang terlampau kental, sebagaian menukil dari ayat kitab, berleleran memenuhi Gaza. Penyair menggambarkan bahwa doa sangat berperan penting dalam menghadapi suatu masalah. Doa juga tetap melekat dalam kehidupan mereka, yang mungkin saja tidak terlepas dari ayat kitab bagi kaum muslim. Gaza merupakan negeri yang bersejarah, negeri perjuangan dan negeri sahda karena banyaknya rakyat Gaza yang syahid di jalan Allah. Bagi kaum muslim (warga Gaza), dengan kekuatan doa bisa membawa berkah yang mereka tidak bisa bayangkan kapan akan tiba. Kenyataan tersebut tidak hanya warga Gaza saja yang tidak terlepas dari ayat kitab (doa), tetapi juga seluruh warga negara Indonesia khususnya bagi orang-orang muslim. Kata – kata yang telah dipilih oleh penyair ini sangat mendukung sekali karena dengan kekuatan doa walhasil masalah yang dihadapi dengan sendirinya akan hilang. Mungkin Laode Gusman Nasiru ketika memilih kata tersebut telah membangkitkan pengalaman jiwanya terhadap segala sesuatu dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pengalaman itu telah diolah dan didapatkan sedemikian rupa sehingga lahirlah kata-kata tersebut. Dan masih pada bait ini juga yang berbunyi “jalan itu membangun tersusun air mata dari bahasa jerit dan kanak-kanak” Larik ini maknanya sangat bertolak belakang dengan larik kedua, dimana pada larik ini penyair manggambarkan masalah peristiwa yang menimpa warga Gaza. Dalam peristiwa tersebut mendatangkan bencana yang menghancurkan mereka. Disini terlihat jelas bahwa yang menjadi sasaran kebanyakan kanak-kanak. Penderitaan mereka terus bertambah karena mereka tidak bisa berbuat apa-apa tanpa adanya pertolongan. Pernyatan tersebut juga terlihat jelas pada stanza pertama yang berbunyi: sebagian menepi pada aroma darah sebab pembantaian adalah maut yang berlari disetiap perbatasan siang dan malam. Pada larik ini sangat berkaitan dengan makna larik pertama bahwa akibat kejadian yang menimpa warga palestina, di daerah Gaza membawa bencana besar bagi warganya. Mereka yang terbunuh mulai dari bayi, anak-anak, remaja, hingga nenek-nenek dan kakek-kakek, masih pada stanza pertama yang berbunyi “sebab pembantaian adalah maut yang berlari disetiap perbatasan siang dan malam” Penyair menggambarkan bahwa pembantaian terhadap penduduk dan perampasan hak-hak atas penduduk Gaza. Dalam larik ini dapat dibaca kata yang menunjuk pada hal waktu yang diungkapkan secara bertentangan : “siang dan malam”. Permasalahan tentang waktu menjadi pilihan penyair untuk mengungkapkan pengalaman puistisi. Hal ini dapat dikemukakan secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan maut. Maut adalah masalah siapa pun sebagai takdir atas penerimaan kehidupan yang dijalani di dunia ini. Pengamatan Laode Gusman Nasiru terhadap situasi tersebut membangkitkan pengalaman jiwanya terhadap banyangan maut. Pengalaman itu telah diolah dan didapatkan sedemikian rupa sehinga lahirlah kata-kata tersebut yang benar-benar mempesona bagi para pembaca.

Suasana pada stanza pertama dipertegas lagi pada stanza kedua, dimana sipenyair menggambarkan tempat terjadinya peristiwa di setiap ledakan bom yaitu pada kata : tepi barat mereka mengirim celaka disetiap ledakan rudal. Pemilihan kata “tepi barat” masih sangat berhubungan dengan Gaza. Walaupun saat ini memang Gaza dan tepi barat berpisah. Gazah dikuasai oleh hamas dan tepi barat dikuasai oleh Fatah, masih pada stansa tersebut, pada kata : mereka mengirim celakan disetiap ledakan rudal. Penyair menggambarkan tentang peristiwa yang dilakukan oleh fatah. Larik ini jelas terlihat bahwa pada kata “mereka” bisa itu diartikan sebagai warga fatah. Maksud larik ini hampir sama dengan maksud stanza pertama. Di mana, akibat dari ledakan bom yang telah diloncarkan oleh fatah, jelas sekali bahwa yang mengalami korban kemungkinan juga sangat mengesankan, mungkinkah mereka melakukan semua itu ingin meyakinkan rakyatnya bahwa mereka sedang berjuang untuk kepentingan dan keamanan mereka. Meski harus dengan cara mengebom gedung apartemen besar dan membasmi rakyat palestina. Larik ini juga berhubungan dengan agresi yang bernuansa politik dan mungkin juga mengesankan bagi penyair dan pembaca. Mungkin penyair menulis kata-kata tersebut awalnya dia ikut simpati dengan keadaan yang menimpa warga palestina, sehingga mungkin saja timbul dalam dirinya sehingga lahirlah kata-kata tersebut. Masih pada stansa ini yang berbunga : meleyapnya kampung halaman para Nabi dari peta dunia. Pemilihan kata kampung halaman para Nabi dapat diartikan sebagai suatu tempat yang bersejarah, negeri pernah berjuang. Tempat dimana mereka memperjuangkan kekuasaannya dengan gerakan yang terkenal. Tempat disini juga diartikan sebagai tempat dikabarnya datuk Rasulullah SAW. Jadi saya yang mengartikan kampung halaman para nabi itu adalah suatu tempat persinggahan para nabi pada zaman dahulu kala. Namun bagaimana dengan “peta dunia” pemahaman saya tentang kata tersebut diartikan sebagai gambaran kehidupan seluruh masyarakat pelestina. Jadi makna pada larik ini merupakan suatu tempat persinggahan para nabi yang sekarang ini sudah tidak berarti lagi (diambang kehancuran) khususnya gambaran bagi kehidupan palestina.

Masih suasana pada stanza kedua yang berbunyi : apa yang lebih kau pahami selain kematian yang amis. Menurut saya maknanya membentuk kalimat tidak bersubjek, karena tidak jelas kepada siapa yang mengapresiasikan atau mempertanyakan pemahamannya apakah adalagi yang dia ketehui selain kematian yang merngerikan. Ini berarti La Ode Gusman Nasiru sengaja melibatkan pembacanya dalam larik tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan pada puisi tersebut memang bermula pada pengalaman pribadi yang benar-benar kuat dan lengkap. Bahkan diungkapkan benar-benar membuat pembaca berpikir keras.

Kemudian pada larik berikutnya yang berbunyi : disitu mereka telah membangun sebuah prasasti depan pintu surga pada kata “seribu prasasti” saya mengartikan sebagai tanda-tanda kehidupan. Namun pada kata “depan pintu surga” lebih hal-hal yang menyengkut keyakinan atau kekuatan agama. Jadi pada larik tersebut penyair mengambarkan tentang bagaiman membangun kehidupan mereka dengan penuh keyakinan, persaudaraan dan sala satuya agama tidak pernah penyimpang dari kehidupan mereke. Makna ini juga berkaitan dengan stanza pertama larik kedua. Karena agama dan doa merupakan suatu kesatuan, makna ini juga berhubungan dengan kehidupan pembaca dan penyair, mungkin dengan kekuatan agama dan doanya Gusman Nasiru keinginannya sebagai penyair mencapai kesuksesan ini berhubungan dengan pendekatan objektif yang menyangkut penilaian Absolutisme mengatakan bahwa penilaian karya sastra harus didasarkan pada ukuran dogmatis, misalnya agama. Agama merupakan suatu pengertian terhadap hal-hal yang harus tak dielekan dan kemajuan tidak dapat ditolak oleh semua anggota masyarakat, karena itu agama berlaku sebagai dasar penilaian perasaan manusia.

Pada stanza ketiga yang berbunyi : betapapun jam yang menyorot diri dan menunjuk angka malam / disembeli hak kami menikmati warna kelam / tapi tak pernah lupa mengirim setitik harapan disela-sela aroma tangisi. Penyair menggambarkan tentang masala kehidupan yang menimpa warga palestina. Pada larik ini juga berhubungan dengan bait pertama pada kata “siang dan malam” yang menunjuk pada hal waktu yang diungkapkan secara bersamaan : ”menunjuk angka malam” tetapi menikamati warna kelam”. Waktu adalah masalah kemanusiaan senantiasa dihadapi siapa pun setiap hari. Karena waktu pula hak-hak mereka telah dirampas pasukan israel. Penderitaan dan kesengsaraan yang dirasakan mereka juga sangat memprihatinkan karena hanya merasakan dunia kegelapan yang terungkap pada kata “disimbeli hak kami menikmati warna kelam”. Namun dibenak mereka harapan selalu ada. Disela-sela tangisan mereka mungkin harapan tidak akan pernah tau kapan akan datang. Mungkinkah La Ode Gusman Nasiru dengan melihat peristiwa tersebut. Timbul dalam jiwanya bahwa walaupun kehidupan yang penuh penderitaan tetapi harapannya tidak pernah hilang. Dan tanpa harapan pula kehidupannya tidak akan berarti.

Pemilihan kata “ jerit kematian yang telah terduga” diartikan sebagai gambaran kematian jelas sekali secara terang-terangan didepan mata. Kematian adalah masalah siapapun sebagai takdir atas penerimaan kehidupan yang dijalani di dunia. Kesadaraan akan takdir mereka dihadapkan dengan kematian dalam suatu kehidupan. Jadi gambaran tersebut merupakan simbol kesadaran penyair atau takdir sebagai manusia. Kesadaran atau takdirnya itu timbul dalam jiwanya, tetapi kematian sebagai bagian dari kehidupannya. Namun bagaimana dengan kata “dan malu ini kami jinjing di atas kepala / memperlihatkan kepada dunia / bahwa kami berhasil terusir dari bumi sendiri. Maksudnya disini penyair menggambarkan perasaan malu yang dialami warga gaza. Pemilihan kata malu sendiri diartikan bukan karena malu seperti mencari atau merampas hak-hak orang lain, tetapi memperlihatkan kepada dunia bahwa mereka malu karena terusir dari wilayah kekuasaan sendri. Dengan rasa malu mereka meninggalkan kehidupan yang pernah menjadi hak mereka.
Pada stanza ke empat yang berbunyi : jangan lupa menyapa tanah kami setiap shalat yang kau rancang di atas sajadah-Mu, Yohana. Penyair menyarankan kepada kita semua untuk selalu mendoakan mereka. Di sini juga jelas bahwa kita sesama umat muslim harus saling mendoakan. Namun saya sebagai pengkaji juga mengharapkan kepada seluruh masyarakat yang telah menyaksikan peristiwa tersebut, marilah kita buat sejarah baru, sejarah yang akan bermanfaat untuk kita semua dikemudian hari, sejarah yang menghibur dan menyenang hati saudara-saudara kita digaza khususnya dan palestina umumnya.

Simpulan pokok pikiran makna puisi kerya La Ode Gusman Nasiru saya mendapatkan empat pokok pikiran yang saling berkaitan.
 Kemana mereka harus pergi disaat hidup mereka terancam ?
 Kepada siapa meminta perlindungan disaat diri mereka menderita dan tidak ada seorang pun yang bisa membantu mereka ?
 Kemana harus pergi mencari petunjuk dan semangat ketika kehidupan mereka padam tidak berarti ?
 Dalam situasi demikian, tidak ada jalan lain selain berdoa dihadapan Tuhan
Sekarang bagaimana halnya dengan sikap penyair terhadap pokok pikiran puisi tersebut, mungkin ada bermacam-macam sikap seseorang sewaktu menghadapi situasi demikian. Mungkin mereka akan termenung sendiri, bertindak masa bodoh, menyalahkan orang lain dan berbagai kemungkinan sikap lainnya akan tetepi lain halnya dengan sikap penyair mungkin ia mengungkapkan bahwa dalam keadaan demikian tidak ada jalan lain kecuali dengan berdoa. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa dalam meampilkan pokok-pokok pikiran penyair memiliki suatu sikap yakni berserah kepada tuhan.

Namun bagaimana dengan sikap panyair terhadap pembaca? Sikap penyair terhadap pembaca akan mewujudkan adanya sikap yang bermacam-macam. Dalam hal ini mungkin mengajak, mengarahkan dan lain-lain. Adanya sikap-sikap tertentu dalam suatu puisi umumnya ditandai dengan bentuk-bentuk peryantaan tertentu. Dalam hal ini jangan tutup mata anda, seandainya tanda tertentu yang dapat menyiratkan sikap penyair terhadap pembaca tidak ada, dapat dipastikan bahwa penyair dapat menyikapi pembaca dengan sikap sesungguhnya.

Sekarang bagaimana dengan rangkuman penafsiran puisi? Rangkuman keseluruhan hasil penafsiran tersebut, baik penafsiran terhadap satuan-satuan pokok pikiran, maupun sikap penyair terhadap pembaca sewaktu menampilkan pokok-pokok pikiran tertentu ke dalam suatu kesatuan utuh. Dengan cara demikian, pada dasarnya dapat menemukan totalitas makna puisi yang saya baca. Namun bagaimana halnya dengan menentukan tema puisi?

Pembahasan tema pada dasarnya menerapkan pembahasan yang cukup rumit karena dalam hal ini menganalisis harus mampu berpikir secara mendasar. Hal ini dapat saja dimaklumi karena tema berhubungan dengan lapis duania yang metafisis (gaib) untuk mencapainya, pengkaji harus membaca hasil rangkuman totalitas makna yang telah dibuat secara berulang-ulang untuk membuat satu simpulan yang menjadi inti keseluruhan totalitas maknanya.

Dari keseluruhan totalitas makna yang terdapat dalam puisi yang berjudul “Bukit Pasir Sajadah Yohana” misalnya dapat dikatakan bahwa tema dalam puisi tersebut adalah dengan mendoakan mereka semua, maka dapat meringankan penderitaan yang mereka alami.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat saya simpulkan bahwa puisi karya Laode Gusman Nasiru memang, jika kita membaca sekilas puisi biasa-biasa saja dari segi isi mapun dari segi bentuk. Namun ketika kita memaknai isinya lebih dalam, kita dapat menemukan kepuasan tersendiri setelah membancanya.

Beberapa kepuasan yang saya dapatkan dari puisi Laode Gusman Nasiru diantara dari segi bahasanya yang sederhana namun cukup mengesankan untuk mengungkapakan sebuah peristiwa yang memperhatinkan. saya juga mengapresiasi karya Laode Gusman Nasiru yang merupakan penyait mudah yang karnyanya mulai memberi inspirasi bagi pengkaji. Dia lahir di Bau-bau 18 Juni 1989.


Read On 0 komentar

RAUDAL TANJUNG BANUA MENGENANG RENDRA DI KRATON BUTON

08.01
Oleh :ITA MEIARNI (A1D1 09 029)
penyunting: La Ode Gusman Nasiru

Takjub. Satu kata itu seperti tidak cukup mewakili deretan kalimat yang hendak saya utarakan demi membaca berbagai karya sastra (baca: puisi) yang tersebar dalam berbagai media massa saat ini.. Betapa tidak, coba Anda bayangkan, beragam tema, amanat, gaya bahasa, dan unsur-unsur kepuisian lainnya mampu diramu menjadi satu bentuk karya yang tidak sebatas indah tetapi juga memberi kesan mendalam terhadap pembaca. Tentunya, penilaian di atas berdasar kepada pengetahuan sedikit saya mengenai puisi.
Selalu menjadi bahan pemikiran saya menyangkut apa yang ingin mereka (penyair) sampaikan sehingga mesti menuangkan ragam ide dan gagasan dalam bentuk puisi. Tetapi kemudian saya membuat semacam satu simpulan sederhana tentang hal tersebut bahwa inilah keistimewaan puisi sebagai bagian dari karya sastra. Keistimewaan tersebut ialah kecenderungan perbedaan interpretasi antara penyair sebagai penulis objek dan pembaca sebagai penikmat objek. Secara sederhana saya paparkan bahwa terkadang di satu sisi penyair ingin berbicara mengenai konsep X dalam puisinya sementara pada sisi lain pembaca memiliki pemahaman yang tidak selajur dengan maksud awal pembuatan puisi. Ini tentu bukan sesuatu yang ironi dan wajib untuk dimafhumkan sebab hal tersebut justru memperkaya eksistensi puisi sebagai bagian dari karya sastra. Ingat, karya sastra merupakan dunia perpaduan antara imajinasi dan kenyataan, sehingga jangan salahkan jika unsur imaji dan kenyataan penulis tidak selalu sama dengan apa yang dimaknai oleh pembaca. Namun demikian, satu hal yang mesti dipahami bahwa pembaca bebas memaknai puisi sepanjang upaya memberi makna pada puisi masih berada pada zona limit interpretasi atau kewajaran dan kelogisan pemaknaan.
Raudal Tanjung Banua, di mata saya, memiliki satu keunggulan dan gaya khas tentang cara menuangkan gagasan ke dalam bentuk puisi. Dengan keunggulan dan gaya khas tersebut, Raudal mampu memikat hati saya sebab ia menciptakan metafora-metafora kalimat yang segar dan tersusun rapi dalam larik demi larik puisinya. Tentu saja kesan kagum menghiasi hati saya ketika membaca sajak-sajak itu. Dalam sajak itu Raudal mampu menghadirkan sosok pribadi yang termanifestasi menjadi sebuah kenangan dan menempati satu dimensi ruang seperti halnya yang terlihat dalam puisi berjudul “Mengenang Rendra di Kraton Buton”.
Begitu penting dan berartikah sosok Rendra bagi penyair kelahiran Lansono itu sehingga membuatnya mampu mencipta puisi kenangan untuk Si Burung Merak? Pada akhirnya, saya juga terpacu untuk menelusuri puisi ini. Saya rasa hal ini bukan sesuatu yang tidak penting. Berdasarkan redaksi keseluruhan puisi Raudal, kita dapat melihat sosok Rendra yang tak mudah goyah dalam kancah kepenyairan di tanah air. Rendra—masih berdasarkan deskripsi Raudal— adalah seorang penyair yang mampu mempertahankan egonya terhadap karya-karya yang telah diciptakannya, seperti karya-karyanya yang bersifat religius, nasionalisme, ataupun patriotisme. Hingga menjelang akhir hayatnya, lelaki yang bernama depan Wilibradus itu masih tetap semangat dalam melakukan perbincangan dengan tim rumah lebah ruang puisi tentang sastra.
Saya pikir, ketegasan dan kekokohan Rendra itulah yang memotivasi Raudal untuk menorehkan penanya dalam bentuk puisi dengan judul “Mengenang Rendra di Kraton Buton”.
Kiranya tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa Raudal adalah penyair yang ‘telah memiliki nama’ sehingga menghasilkan karya-karya yang banyak diminati oleh penikmat sastra. Saya pun demikian, sebagai penikmat juga sangat mengapresiasi karya-karya pria kelahiran 19 Januari 1975 itu. Salah satu puisi yang membuat saya tertegun ialah Mengenang Rendra di Kraton Buton sebab puisi ini diciptakan satu bulan setelah meninggalnya W.S. Rendra. Hal demikian kembali menimbul pertanyaan dalam benak saya, sebenarnya apa yang ada dalam puisi itu? Untuk menjawab keresahan saya itu, ada baiknya jika terlebih dahulu kita lihat sajak Raudal teranalisis.

Benteng yang kokoh akhirnya
akan tegak dalam kesunyian
Istana yang sederhana
akhirnya ditinggalkan
Masjid dan tiang bendera
meriam dan pintu-pintu,
Kapal-kapal, pelabuhan serta mercu
di laut jauh
semua bergerak meninggalkanmu…
Tidak. Sebagian masih tegak
berjaga, di bagian mana dirimu
Kubayangkan menjelma jadi dinding batu
Keras dan tabah menghimpun
segala yang bersisa
jadi milikmu, jadi milik delapan kanak-kanak
yang matanya setajam mata jangkar tua
di pelataran-mata yang memiliki tatapanmu,
dan akhirnya menjadi milik sang waktu!

Pada larik benteng yang kokoh akhirnya/ akan tegak dalam kesunyian/ istana yang sederhana/ akhirnya ditinggalkan/ menunjukkan bahwa walau sekuat atau sekokoh apapun sesuatu akhirnya tetap akan tumbang. Pada bagian ini penyair berdarah Sumatra tersebut mengibaratkan Rendra seperti benteng yang kokoh. Satu pertanyaan kemudian berputar-putar dalam batok kepala saya. Apakah tidak salah jika Rendra diibaratkan seperti itu? Tapi mengapa harus salah? Kekokohan Rendra dalam kancah kepenyairan sama halnya dengan benteng yang kokoh yang tidak mudah goyah. Namun sekokoh apapun Rendra, pasti akhirnya ’tumbang’. Ketidakbertahannya itu ditandai dengan kepergiannya meninggalkan dunia.
Pernyataan di atas didukung oleh baris istana yang sederhana/akhirnya ditinggalkan/. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada akhirnya dunia akan ditinggalkan, sekokoh apapun kita (pernah) berdiri dan (pernah) berjaya di atasnya.

Masjid dan tiang bendera
meriam dan pintu-pintu,
Kapal-kapal, pelabuhan serta mercu
di laut jauh
semua bergerak meninggalkanmu…

Saya rasa, Raudal sangat pandai mengaitkan kehidupan dunia Rendra dengan simbol-simbol atas objek yang ada di dunia. Perhatikan larik-larik di atas, benda-benda yang dikemukakan benar-benar menggambarkan kehidupan kepenyairan Rendra. Masjid dan tiang bendera/ meriam dan pintu-pintu/ ini menunjukkan bahwa dalam kepenyairannya, Rendra memiliki sikap adaptatif yang baik sehingga dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang ada. Kata “masjid” dapat menggambarkan kepenyairan yang religius, “tiang bendera” dapat menggambarkan kepenyairan yang bersifat nasionalisme, kemudian “meriam dan pintu-pintu” ini dapat melukiskan kepenyairan dengan jiwa patriotisme di dalamnya. Jadi, sangat jelas upaya penggambaran kehidupan Rendra dalam syair Raudal ini.
Kalau alinea terdahulu menjelaskan tentang kehidupan Rendra dalam hubungan dengan simbol-simbol yang dibuat penyair, bagian ini akan memaparkan relasi kepergian Si Burung Merak dengan konten puisi Raudal. Perhatikan larik kapal-kapal, pelabuhan serta mercu/ di laut jauh/ semua bergerak meninggalkanmu…/. Larik-larik tersebut berupaya menguatkan bahwa semua itu (dalam konteks keduniawian) berpisah dengan diri objek cerita. Maksud larik-larik itu kemudian diperkuat lagi pada klausa semua bergerak meninggalkanmu…/. Artinya, Rendra serta-merta melepaskan hidup dan kehidupannya, yang di dalamnya tentu terkandung hal-hal kepenyairan dan kebesaran namanya dalam dunia kesusastraan. Dalam kasus ini, satu hal yang ingin saya utarakan ialah: Rendra meninggal sedangkan karya-karyanya harus ia tingalkan. Ya, ia telah pergi, dan karya-karyanya hanya menjadi sejarah yang dinikmati.

Tidak. Sebagian masih tegak
berjaga, di bagian mana dirimu
Kubayangkan menjelma jadi dinding batu
Keras dan tabah menghimpun
segala yang bersisa
jadi milikmu, jadi milik delapan kanak-kanak
yang matanya etajam mata jangkar tua
di pelataran-mata yang memiliki tatapanmu,
dan akhirnya menjadi milik sang waktu!

Hal lain yang membuat saya tertarik menganalis puisi Raudal ialah ada bagian-bagian yang menggelitik pemikiran saya untuk menyelesaikan pembacaan terhadap puisinya. Pada bagian awal, penyari telah mengatakan bahwa Rendra dan karyanya telah melakukan satu bentuk saling ’tinggal-meninggalkan’. Akan tetapi, redaksi puisi berikutnya justru hadir satu bentuk pengingkaran atau penolakan atas hal terdahulu. Penolakan yang sangat tegas pada larik ini ialah kata tidak. Dilanjutkan kemudian oleh sebagian masih tegak/ berjaga, di bagian mana dirimu/. Kutipan larik di atas mempertegas bentuk pengingkaran yang saya maksud sebelumnya. Raudal ingin menyatakan bahwa meskipun Rendra telah pergi, kita tetap dapat menikmati kekayaan pemikiran dan hasil kreatifitasnya lewat karya-karya peninggalannya.
Penjelasan di bawah ini difokuskan pada bentuk kesedihan penyair sekaligus pembaca sebagai akibat dari sebuah kehilangan. kubayangkan menjelma jadi dinding batu/ keras dan tabah menghimpun/ segala yang bersisa/. Larik tersebut jelas menyodorkan efek kesungguhan rasa kehilangan yang luar biasa, sehingga harus dihadirkan kubayangkan menjelma menjadi dinding batu/ sebagai suatu “pembayaran” dan “penebusan” atas suatu kehilangan dan kepergian. Kedua hal terkutip di atas dilukiskan sebagai satu bentuk pembayangan untuk menjelmakan kembali Rendra dalam wujud yang kokoh dan tangguh seperti dinding batu yang menghimpun dan merangkul segala yang bersisa.
Pemaparan yang berkaitan dengan kehilangan kembali dimunculkan pada empat larik terakhir puisi ini, yaitu jadi milikmu, jadi milik delapan kanak-kanak/ yang matanya setajam mata jangkar tua/ di pelataran-mata yang memiliki tatapanmu/ dan akhirnya menjadi milik sang waktu!/. Sungguh W.S. Rendra adalah seorang yang sangat berarti dalam dunia kepenyairan tanah air sehingga pantas menjadi tolok/alat ukur atau motivator bagi kaum muda. Hal itu diimajikan dengan kanak-kanak yang matanya setajam mata jangkar tua. Dengan demikian, kita mendapat konsep akan begitu besar pengharapan Raudal terhadap kaum muda dalam menatap perkembangan persajakan di negeri ini. Pengimajian yang menjadi batu pijak pernyataan itu ialah setajam mata jangkar tua/. Maksudnya, orang-orang muda saat ini sebaiknya memiliki pandangan dan pengetahuan tentang dunia kesastraan, sebab kita tahu bahwa sastra selain sebagai sarana hiburan juga dapat memperhalus budi para penikmatnya. Hal yang menjadi penegasan pada bagian ini ialah penyair ingin agar orang-orang muda/penikmat sastra memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap lingkungan sosialnya sehingga membawa mereka memasuki arah positif. Salah satu cara untuk memenuhi dan mencapai berbagai harapan penyari di atas ialah dengan bercermin pada Rendra sebagai objek dalam hubungannya dengan realitas sosial di sekitarnya.
Ada larik dalam puisi berlatar Keraton Buton di atas yang saya anggap benar-benar menyesakkan rasa dan batin. Perhatikan larik mata yang memiliki tatapanmu,/ dan akhirnya menjadi milik sang waktu/. Penyair berkaca mata itu mengakhiri puisinya dengan memanfaatkan satu lapis metafisika (penegasan tentang kepergian dan kehilangan) yang amat mendalam sehingga Rendra hanya mampu hidup dalam kenangan di kepala saya.
Penyair yang lahir di Lasono, Kenagarian Taratak, Sumbar ini, dalam larik demi larik puisinya tidak terus terang menyatakan apa yang dimaksud, melainkan sering dengan menggunakan simbol-simbol atau ketidaklangsungan pengungkapan. Penggunaan simbol ditujukan untuk mendapatkan tenaga puisi hingga terasa benar kehadiran apa yang ingin diungkapkan. Penggunaan tanda-tanda tersebut juga berpotensi menimbulkan ketegangan puisi dan memperjelas maksud, hingga keadaan dalam puisi benar-benar memisahkan karya sastra dengan keseharian. Keadaan itu oleh Subagio Sastrowardojo disebut sebagai jarak estetika (esthetic distance). Jarak estetika ini selalu terdapat dalam tiap-tiap karya sastra, kian jauh jarak estetika kian terasa ketegangan puisi.
Ketidaklangsungan itu terlihat dalam larik pertama puisinya benteng yang kokoh akhirnya/ akan tegak dalam kesunyian/. Pernyataan itu memang cenderung lebih abstrak daripada dikatakan secara konkret seperti ini: benteng yang kokoh akhirnya akan berada dalam keruntuhan, atau langsung pada maksud seperti ini: sehebat-hebatnya penyair pasti akan menemui akhir. Dengan pernyataan yang langsung seperti demikian , larik puisi menjadi tidak menarik. Lagi pula larik-larik puisi memerlukan pemadatan makna seperti kata Ralph Waldo Emerson bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin. Pemadatan tersebut dapat dicapai dengan penggunaan kata-kata yang sugestif dan konotatif.
Dalam larik di atas saya sempat berpikir mengapa harus menggunakan kata ‘akhirnya’, mengapa tidak diganti dengan kata ‘pasti’. Bukankah pasti itu suatu yang sudah terang akan terjadi. Tetapi setelah ditafsirkan lebih mendalam ternyata penggunaan kata akhirnya mengandung unsur-unsur religius, yang akan membutkikan satu kesadaran kesadaran bahwa semua akan kembali. Jadi, kata ‘akhirnya’ mengandung makna yang lebih kuat daripada kata ‘pasti’.
Selanjutnya pada larik 5—8, ada lirik yang berbunyi masjid dan tiang bendera/ meriam dan pintu-pintu/. Kalimat dalam larik ini terasa lebih tepat daripada harus menyatakan secara langsung : karya-karya religius, nasionalisme dan patriotisme semua bergerak meninggalkanmu, meskipun sebenarnya ketiga hal itulah yang ingin dinyatakan oleh penyair. Pada kalimat pertama, Raudal menggambarkan bahwa benar yang ada di dunia telah ditinggalkan. Sedangkan pada kalimat kedua lebih terang menyampaikan maksud yang seolah-olah terfokus pada hal itu saja sehingga tidak menunjukkan nilai estetika dalam puisi—menurut pemikiran sederhana saya.
Saya pikir, pernyataan tidak salam salah satu lirik puisi tersebut akan lebih baik menggunakan pungtuasi tanda seru guna mempertegas penolakan terhadap larik sebelumnya. Berbicara tentang ketepatan konten puisi, pada larik ke-15 jadi milikmu,jadi milik delapan kanak-kanak/ sudah cukup baik penempatannya. Kata kanak-kanak dan anak-anak sesungguhnya—jika sepintas dilihat—memiliki makna yang sama, ialah seseorang yang belum menginjak remaja. Akan tetapi, setelah ditelusuri lebih lanjut ternyata kanak-kanak memang lebih tepat daripada anak-anak karena kanak-kanak lebih mengarah kepada unsur sifat. Jadi lebih bagus pemaknaan dengan menggunakan kata kanak-kanak.
Sebagai penutup saya ingin berkata bahwa penyari berusia 35 tahun itu telah menorehkan buah pikirannya dalam larik demi larik puisinya yang berjudul “Mengenang Rendra di Kraton Buton” dengan pemaknaan luar biasa melalui pendeskripsian sosok W.S. Rendra. Penggambaran sosok penyari nasional tersebut dihadirkan dengan memanfaatkan kombinasi kata yang indah dan kepadatan makna sehingga menumbuhkan kesan estetika yang sangat menarik perhatian penikmat sastra. Jadi, ya, ada rasa kagum tersendiri yang tersimpan dalam lubuk hati saya tentang hal tersebut dan saya rasa perasaan itu akan tetap ter-save dengan baik. Akhirnya, keseluruhan bagian dan makna puisi di atas memberikan kesan yang sangat mendalam dan memotivasi saya untuk tetap semangat dalam berkarya dan terus barusaha memaksimalkan diri dalam berekspresi.
Demikian penafsiran sederhana ini. Semoga berkenan di hati pembaca. Salam.


Read On 0 komentar

MENENGOK SEJARAH BUTON LEWAT SEKANTONG LUKA DARI SEORANG IBU KARYA IRIANTO IBRAHIM PERSPEKTIF DIMENSI SOSIAL DAN SEJARAH

06.47
Oleh: Susi Susanti Idris (A1D1 09 031)



SEKANTONG LUKA DARI SEORANG IBU
:kepada ibu ainun kasim

Supaya dapat kau ceritakan pada mereka perihal dada yang terhimpit ini:

dada seorang ibu yang tak sempat melihatmu menangis atau sekedar tersedu, sebab baginya kaki-kaki kursi yang diinjakkan pada kuku-kuku kaki suaminya tak pernah benar-benar mengenal rasa sakit: oleh luka maupun kepergian yang dipaksakan. ia ingin mengutuki dirinya jadi batu atau serumpun pohonan bambu tempat putri tanah ini terlahir. ia ingin menjadi jembatan, tempat anak-anaknya menyeberangi cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah, namun suara tertahan dari leher tercekik tak sempat memandunya berdoa.

di sebelah sana: di ujung pantai terjauh, ia melihat kapal-kapal mengibarkan layar dan memasang lampu-lampu. ia ingat putrinya yang minta kapal-kapalan. ia rabai riak selat yang tak sempat jadi gelombang: ia urungkan senyumnya. dadanya sesak. dada seorang ibu yang tak sanggup memberi: dada seorang ibu yang menyuruh anak-anaknya mengatup bibir mereka sebelum tersenyum. dada yang menampung sunyi nyanyian mantra para tetua adat.

di punggungnya, ribuan tanda tanya dipikulkan anak-anaknya. tanya yang melarangnya berbaring. tanya yang dijawab dengan tatapan mata berkilat-kilat. semacam perisai para tentara yang disarungkan pada tangan sebelah kiri, ia menutup mukanya. ia sembunyi dari desakan yang menghimpit. nafasnya tersengal, isaknya sesegukan. lalu dibasuhnya muka merahnya dengan darah suaminya. darah yang dicecerkan dua belas kendi jampi-jampi. darah dari lipatan perih dan airmata yang sekarang menyerah. darah yang kemudian hari akan ia larung ke laut banda. laut yang akan menenggelamkan suaranya.

bahkan mungkin, bila kau betah menyimak perih: mendefinisikan penistaan. ia seorang ibu yang tak dibolehkan mengucap tahlil saat pemakaman suaminya. yang meronta dan menangis, sambil mengintip dari kangkangan kaki kekar penggali kubur tanpa rasa iba di wajah mereka. ia bicara pada tanah yang tak bisa mendengar suaranya sendiri. ia inginkan pelukan seorang suami. pelukan terakhir yang ingin ia bingkai dengan pelepah pisang atau patahan ranting pohon jarak dari kuburan itu. ia, seorang ibu yang hanya memiliki sebatang pinsil untuk sketsa keluarga, dengan wajah suami yang sengaja akan disamarkan. satu hari nanti, bila mungkin kau bisa bercerita pada seorang yang lain, jangan bilang ia tak sempat meneteskan embun untuk bunga-bunga di halaman rumahnya. sebab seusai shalat subuh, saat para nelayan telah kembali ke dada istri-istrinya, ia masih khusyuk menciumi sobekan kafan yang tak sempat ia balut pada tubuh suaminya.

Kendari, 2009


(23.38 WITA) Saya akan memulai tulisan ini dengan ungkapan alakadarnya yang terlintas di kepala saya akibat laju adrenalin yang ciut ketika mendengar gonggongan Anjing di malam yang semakin sepi.



“Segala yang unik berpeluang besar untuk menarik”

Ungkapan ini kiranya cocok jika saya khususkan untuk sebuah karya sastra bernama puisi. Maka penyair yang kreatif tidak semata-mata adalah penyair yang sanggup berimaji setinggi langit untuk menemukan kata-kata atau “bahasa” yang lain daripada yang lain. Lebih dari itu, penyair diharapkan mampu berpijak di atas realitas untuk menggali “harta karun” yang bersemayam (boleh jadi berabad-abad) di dalamnya. Maka relevansinya adalah : “bahasa” yang khas dijadikan seorang penyair sebagai alat utama untuk menggali makna realitas yang dihadapinya, sekaligus yang dihadapi pula oleh orang lain. Dan penyair hadir dengan perspektifnya yang eksklusif, melihatnya melalui kacamata multidimensi, meskipun tidak semua penyair memakai kacamata atau punya kacamata multidimensi tersebut. Oleh karena itu, saya patut memberikan apresiasi super kepada Irianto Ibrahim, seorang penyair asal Sulawesi Tenggara yang pada puisi “Sekantong Luka dari Seorang Ibu” mampu mengangkat dua dimensi realitas sekaligus, yaitu kehidupan sosial dan sejarah Buton tahun 1969.

Dalam Sekantong Luka dari Seorang Ibu, penyair menggunakan cara pandang yang khas dalam membentuk jalan cerita pada puisinya. Secara umum, kekhasan cara pandang terhadap suatu realitas disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah: penyair telah menemukan sisi baru dari kehidupan (cara, sikap, dan pendekatan) yang memunculkan gairah serta terus-menerus mencuri perhatiannya untuk mengekspresikan bahasa pribadinya ke dalam puisi hingga dapat menghasilkan karya yang secara lahir maupun batin “memuaskan”. Dan gairah tersebut saya tangkap menghampiri pula penyair kelahiran Gu-Buton, 21 Oktober 1978 ini. Sebelum menulis puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu, pada tahun 2007 Irianto Ibrahim pernah menulis puisi yang juga mengisahkan getirnya sejarah Buton tahun 1969 dengan judul Buton 1969.

Pada puisi yang berjudul Buton 1969, Irianto Ibrahim hadir dengan sentimentalismenya. Ia berulang kali menuliskan kesedihan dan kekalahan dengan sikap pesimistis. Misalnya pada bait pertama baris ketiga dan keempat, ia berkata: kau tak usah mendesak laut menyurut/ atau pohon-pohon mengemis angin. Atau saat ia berkata pada bait ketiga baris keempat, kelima, dan keenam : meski berkali-kali kau menyebut ingin / ia tak hinggap di sana / tidak di deretan kata yang memuat namamu /Atau pada bait keempat baris pertama hingga keempat : pulanglah, kembali ke bilik langit / sambil bersiul sepanjang luka / sepanjang kenangan yang menghanguskan / tahun-tahun cerita.

Sikap pesimistis tersebut turut diikuti dengan bentuk penyajian baris demi baris puisi yang monoton (Anda dapat memperhatikannya sendiri). Karena baris demi baris pada puisi yang memiliki lima bait tersebut menggunakan kalimat yang cukup pendek juga tanpa membubuhkan tanda baca yang berarti, maka pembaca kiranya membutuhkan rima atau persamaan bunyi, terutama asonansi dan aliterasi pada bunyi akhir setiap baris agar ada keestetikan konkret ketika pembaca melisankan puisi tersebut.

Namun, terlepas dari semua itu – seperti yang saya katakan di awal tadi – Irianto Ibrahim punya gairah untuk terus mengeksplorasi kemampuan menulis puisinya terhadap satu tema yang telah mencuri perhatiannya. Maka dalam jeda kurang lebih dua tahun, Irianto Ibrahim kembali menulis sebuah puisi dengan latar sejarah Buton tahun 1969, dengan sikap dan pendekatan yang lebih tegar serta struktur yang lebih artistik dan estetik. Inilah sekantong Luka dari Seorang Ibu:


Irianto Ibrahim dalam puisinya di atas: Sekantong Luka dari Seorang Ibu, secara umum ingin mengingatkan kita pada sejarah nasional Indonesia tahun 1965 yang telah merembeskan tragedi-tragedi kemanusiaan tak terperih di berbagai daerah di tanah air termasuk yang terjadi di Sulawesi Tenggara, khususnya Buton.

Maka secara khusus, puisi tersebut merupakan gambaran kisah sebuah keluarga korban kebiadaban tragedi 1969 di Buton, yang tidak lain merupakan kisah keluarga Drs. Muh. Kasim, Bupati Buton kedua yang memerintah sekitar tahun 1964-1969.

Untuk lebih menghangatkan ingatan sejarah para pembaca, saya terlebih dahulu akan menyinggung beberapa peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1965-1969, sebagai berikut:

Partai Komunis Indonesia (PKI) sejak awal kemerdekaan senantiasa ingin merebut pemerintahan di Indonesia. Selain merebut pemerintahan, PKI juga ingin mengganti ideologi negara Pancasila dengan Marxisme-Leninisme. Upaya mewujudkan tujuannya itu telah terlihat sejak pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1948. Pemberontakan itu dapat digagalkan, tetapi belum dapat ditumpas secara tuntas karena pemerintah RI menghadapi Agresi Militer II Belanda. Pada tahun 1950-an, PKI bangkit kembali. Dalam pemilihan umum tahun 1955, PKI menjadi partai terbesar nomor empat di Indonesia.

Semakin lama PKI merasa semakin kuat karena program-programnya menjadi bagian dari program pemerintah (masa pemerintahan Ir. Soekarno). Untuk menunjukkan kekuatannya, PKI berpura-pura menerima pancasila dan UUD 1945. Tindakan PKI ini tentu saja menggelisahkan kalangan yang setia pada pancasila. Salah satu partai bernama Murba mencoba menentang PKI, tetapi akhirnya PKI berhasil mempengaruhi Presiden Soekarno untuk membubarkan partai Murba. PKI juga melakukan penyusupan pada tubuh PNI sehingga mengakibatkan pecahnya PNI menjadi dua. PKI juga menyusup ke dalam tubuh ABRI dan organisasi sosial politik lain dengan membentuk sebuah Biro khusus yang bertugas mempersiapkan pemberontakan. Usaha Biro khusus ini cukup berhasil, terbukti dari adanya beberapa anggota ABRI yang ikut mendukung dan terlibat dalam pemberontakan G 30 S/PKI.

Pada bulan Juli dan Agustus 1965, kesehatan Presiden Soekarno menurun dan mendapat pemeriksaan tim dokter dari RRC dan dokter Indonesia. Menurut analisis dokter, keadaan kesehatan presiden sangat gawat. Mengetahui hal tersebut, tokoh-tokoh PKI yang sedang berada di luar negeri segera kembali ke Indonesia untuk melakukan persiapan pemberontakan.

Ketua Comite Central PKI, D.N. Aidit memerintahkan Biro Khusus PKI untuk membuat suatu rencana gerakan. Sejak awal September 1965, mereka semakin sering mengadakan rapat-rapat rahasia dengan beberapa oknum ABRI yang telah dipengaruhi komunisme untuk membahas rencana pemberontakan dan untuk mempersiapkan diri melaksanakan gerakannya.

Sebagai pendukung gerakan yang akan dilakukan, PKI mengadakan latihan militer bagi anggota-anggotanya di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Latihan itu dilakukan dengan berkedok melatih para sukarelawan dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Sampai akhir September 1965, di desa Lubang Buaya telah dilatih lebih kurang 3.000 orang anggota PKI dan organisasi bawahannya.

Dinihari pada tanggal 1 Oktober 1965, PKI mulai mengadakan penculikan dan pembunuhan para pemimpin tinggi atau pejabat teras TNI-AD. Dalam aksinya jatuh korban enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama angkatan darat serta seorang bintara polri. Jenazah perwira-perwira angkatan darat yang dianiaya dan dibunuh oleh PKI dibawa ke Lubang Buaya. Setelah puas menganiaya, perwira yang masih hidup dimasukkan ke dalam sumur tua yang terletak di sana.

Pada tanggal 18 Oktober 1965, penangkapan pertama terjadi di Sulawesi Tenggara, delapan orang yang dituduh pimpinan Daerah PKI ditahan oleh aparat KOREM 143. Pada tanggal 28 Oktober 1965, kerusuhan mulai meletus di Sulawesi Tenggara dan sekitarnya. Masyarakat dengan dipandu oleh beberapa ormas dan organisasi kepemudaan mulai merusak rumah-rumah orang yang dituduh PKI dan juga terhadap instansi yang dicurigai telah disusupi oleh PKI. Tidak ada jumlah yang pasti kerugian dan korban jiwa dalam kerusuhan itu. Kendari, Buton , Makassar, Palu, dan beberapa daerah lain di Sulawesi menjadi pusat dari kerusuhan massal tersebut.

Tahun 1968 merupakan puncak dari penangkapan terhadap orang yang dituduh PKI di Sulawesi. Di Kendari tercatat lebih dari 200 orang ditahan.

Tahun 1969 beredar isu bahwa daerah Buton merupakan pusat pasokan senjata PKI dari Cina. Isu tersebut menyebabkan Buton mendapat stempel “basis PKI”. Ratusan orang ditahan atas isu tersebut, puluhan staf kantor Bupati ditangkap termasuk Drs. Muh. Kasim, Bupati Buton waktu itu yang beberapa bulan kemudian dinyatakan bunuh diri dengan menggantung diri dalam tahanan. Padahal setelah dilakukan penyelidikan ternyata di Buton tidak ditemukan senjata dan tidak ditemukan ada operasi pemasokan senjata dari Cina.

Dengan hasil penyelidikan tersebut maka beberapa tahanan yang merupakan elit pemerintah Kabuten Buton tetap ditahan, namun kemudan dipindahkan ke Moncongloe, Makassar untuk direlokasi. Setelah penahanan massal yang dimulai tahun 1965, maka antara tahun 1968-1969 dilakukan interogasi oleh pihak yang ditugasi pemerintah waktu itu, tercatat beberapa nama yang melakukan interogasi dengan siksaan (sentruman, cambukan, sundutan dengan rokok, serta ujung jari yang dihimpit dengan meja). Tahanan yang diinterogasi dipaksa untuk mengakui apa yang mereka tidak lakukan dan selanjutnya menandatangani persetujuan atas Berita Acara Pemeriksaan.

Sisi gelap sejarah nasional Indonesia tahun 1965 tersebut, menyebabkan lebih dari satu juta orang terbunuh dan jutaan orang lainnya dipenjarakan tanpa proses hukum. Selain itu yang lebih menyakitkan adalah perlakuan terhadap eks tahanan politik (tapol). Hukuman yang mereka terima berpuluh-puluh tahun ternyata tidak berhenti setelah bebas dari tahanan. Peminggiran, diskriminasi, stigma negatif, hingga persoalan hak milik tanah dan berbagai hak mereka sebagai warga negara seolah hilang.

Bagi masyarakat Buton, luka terperih adalah pemberian cap “basis PKI” yang tidak semestinya mereka sandang. Anehnya, Jakarta yang menjadi lokasi pembunuhan para jendral pahlawan revolusi, tidak diberi cap “basis PKI”. Mengapa Buton yang diberi cap basis PKI? Apapun alasannya, satu hal yang pasti bahwa cap “basis PKI” merupakan “ancaman kematian” Rakyat Buton: kematian hak-hak asasi kemanusiannya, kematian hak-hak sipil dan hak-hak politiknya, serta kematian budaya leluhurnya yang telah berkembang selama lebih dari enam abad sebagai salah satu bekas kerajaan dan kesultanan di Nusantara. Sebuah tragedi kemanusiaan telah ditimpakan di atas kepala Rakyat Buton, rakyat eks kesultanan yang berdasarkan islam
(Dihimpun dari berbagai sumber)

. . .

Dari penggalan-penggalan peristiwa sejarah nasional 1965 di atas, tentu menimbulkan berbagai perasaan di hati Anda masing-masing. Entah kaget karena baru mengetahui jika jumlah korban yang berjatuhan sangat luar biasa, dan tidak hanya terjadi di Pulau Jawa namun menyebarluas hingga ke beberapa daerah di tanah air, atau marah atas kekejaman PKI terhadap rakyat sipil yang tidak bersalah, atau ada perasaan takut bercampur sedih yang masih berkecamuk (trauma) karena keluarga Anda turut menjadi korban pahitnya sejarah 1965?

Memang, peristiwa tersebut masih menyisakan berbagai polemik. Sekedar mengingat atau membaca ceritanya pun kita akan geregetan pada kebiadaban oknum tertentu masa itu. Namun bagi seorang penyair bernama Irianto Ibrahim, kenangan sejarah kelam tersebut ia tuangkan begitu moderat dengan perasaan yang etik dalam bait demi bait puisinya.

Sebagai putra daerah (Buton), penyair yang merupakan dosen di Universitas Haluoleo, Kendari, dalam puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu, mampu menegakkan fungsi puisi sebagai sarana edukasi. Lihat saja bagaimana ia mengajak orang lain untuk mengenal sejarah negerinya : supaya dapat kau ceritakan pada mereka perihal dada yang terhimpit ini/…bahkan mungkin, bila kau betah menyimak perih: mendefinisikan penistaan/… satu hari nanti, bila mungkin kau bisa bercerita pada seorang lain.

Memang, bagi pembaca yang belum mengetahui bahwa puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu merupakan dedikasi penyair terhadap sejarah Buton, khususnya kepada para korban (kita semua) yang ditinggalkan, mereka akan menganggap biasa terhadap kisah demi kisah yang dijalin penyair lewat sosok seorang Ibu. Maka pembaca dituntut untuk memiliki pengetahuan atau referensi terhadap apa yang terjadi di Buton pada tahun 1969 agar segala “harta karun” dalam puisi dapat dimiliki seutuhnya oleh pembaca. Dalam hal ini penyair tentu sadar betul akan pentingnya pengetahuan sejarah (tidak saja untuk menafsirkan puisi) tapi lebih kepada bukti nyata sikap nasionalis dan patriotis yang dapat ditunjukkan pembaca (terutama generasi muda) setelah mendapat pengetahuan tentang sejarah tertentu. Apalagi, seiring berkembangnya IPTEK, para generasi muda cenderung “malas” untuk mempelajari sejarah negerinya, sehingga lambat laun tidak ada lagi “cerita” yang dapat dibagi ke anak cucu mereka. Minimal cerita tentang sejarah di daerahnya.

Buton, lewat si penyair- Irianto Ibrahim- telah dua kali bercerita tentang sejarah Buton tahun 1969. Lantas saya jadi bertanya-tanya mengapa tidak ada gairah seorang “Irianti Ibrahim” (putra daerah Buton) untuk lebih memperkenalkan sejarah daerahnya yang lain? Misalnya, tentang sejarah peralihan Buton dari kerajaan ke kesultanan ke pemerintahan demokrasi, hingga mencuatnya ide pembentukan “Provinsi Buton Raya” yang penuh lika-liku dan mungkin juga bisa mencipta “sekantong” luka atau lebih.

Terlepas dari semua itu, secara umum penggambaran sejarah yang dilakukan Irianto Ibrahim dalam puisinya Sekantong Luka dari Seorang Ibu, unik dan menarik. Maka ungkapan yang saya kemukakan di awal tulisan ini” segala yang unik berpeluang besar untuk menarik, kiranya keduanya berhasil dipenuhi oleh “tangan dingin” Irianto Ibrahim.Karena ada juga karya yang unik namun tidak menarik begitupula sebaliknya, karyanya menarik namun tidak unik di mata sebagian besar pembacanya.

Keunikan puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu di antaranya dapat diindera melalui : pertama, latar belakang sejarah yang melatarbelakangi penulisan puisi tersebut. Kedua, isi puisinya yang bercerita tentang sejarah Buton tahun 1969 dihadirkan berbeda lewat sosok seorang Ibu melalui cinta kasih kepada sang suami dan anak-anaknya : ia ingin menjadi jembatan, tempat anak-anaknya menyebrangi cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah/… ia masih khusyu menciumi sobekan kafan yang tak sempat ia balut pada tubuh suaminya. Ketiga, alur ceritanya mengalir indah dengan bahasa-bahasa sederhana namun mampu menggugah cita rasa pembacanya. Dan yang keempat, puisinya sarat nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan ketegaran, yang dikombinasikannya menjadi sebuah judul cantik : Sekantong Luka dari Seorang Ibu. Keunikan yang berkelas seperti itulah yang membuat suatu karya sastra dikatakan pula menarik. Namun, unik dan menarik tidak lantas membuat suatu karya menjadi sempurna. Hal ini juga terjadi pada puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu. Oleh karena itu, saya akan menganalisis lebih detail puisi yang ditulis pada tahun 2009 tersebut, sebagai berikut :

Pada puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu, penyair mencantumkan dedicated : kepada ibu ainun kasim yang merupakan istri Bupati Buton kedua, Drs. Muh. Kasim. Menurut sebuah sumber, Bupati Buton tersebut dinyatakan meninggal akibat gantung diri di dalam tahanannya karena tidak tahan atas siksaan dan tudingan yang menyebutkan bahwa Buton merupakan Basis PKI dan Kantor Bupati Buton ditengarai sebagai pusat operasi pemasokan senjata PKI dari Cina. Beliau – Drs. Muh. Kasim – yang merupakan kepala daerah saat itu jelas menanggung banyak kecaman dari tudingan miring tersebut. Kecaman itulah yang mengukir beban psikologis dalam jiwanya. Siapa yang kebal terhadap fitnah? Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Sehingga ia memilih mengakhiri hidupnya dengan jalan yang…entahlah, hanya Tuhan Yang Maha Tahu.

Namun ada juga isu yang berkembang di masyarakat saat itu menyatakan bahwa berita kematian Drs. Muh. Kasim yang dinyatakan bunuh diri tersebut merupakan kebohongan dari pihak yang ditugasi saat itu untuk menginterogasi para tahanan politik. Karena dalam interogasi yang mereka lakukan, tercatat beberapa nama yang melakukan interogasi dengan siksaan yang keji.

Namun dalam menyikapi dua spekulasi tersebut, penyair dengan begitu moderat menuliskan : sebab baginya kaki-kaki kursi yang diinjakkan pada kuku-kuku kaki suaminya tak pernah benar-benar mengenal rasa sakit : oleh luka maupun oleh kepergian yang dipaksakan/… ia seorang ibu yang tak dibolehkan mengucap tahlil saat pemakaman suaminya. Kata “kepergian yang dipaksakan” merupakan kata kunci yang mewakili kemoderatan penyair. Kata tersebut bisa berarti “meninggal karena bunuh diri” atau “meninggal karena dibunuh”. Dalam karya sastra, hal tersebut dikenal dengan istilah “ambiguitas”.

Namun dalam hal ini, ambiguitas terjadi karena adanya realitas yang juga masih ambigu. Tapi setidaknya ini membuktikan bahwa penyair cukup “dekat” dengan masalah “sejarah” yang diangkatnya menjadi sebuah puisi. Dan kedekatan tersebut dengan bangganya “dipamerkan” penyair dalam dua baris puisinya berikut :supaya dapat kau ceritakan pada mereka perihal dada yang terhimpit ini /…ia ingin mengutuki dirinya jadi batu atau serumpun pohonan bambu tempat putri tanah ini terlahir. Dua kata “ini” yang saya garisbawahi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti : kata penunjuk terhadap sesuatu yang letaknya tidak terlalu jauh dari pembicara. “ini” pada kalimat pertama menunjuk pada “dada”, sedangkan “ini” pada kalimat kedua menunjuk pada “ putri tanah ”. jika kita kaitkan pada keseluruhan isi puisi dimana penyair merupakan narrator serba tahu yang menggunakan e l “ia” sebagai kata ganti orang ketiga tunggal dalam menyebut “ibu”. Maka kedua kalimat tersebut bila tidak dikaji dengan saksama akan menimbulkan kesalahan penafsiran sebagai berikut: “dada” adalah milik penyair dan “ ocial tanah” adalah si penyair. Padahal sesungguhnya penggunaan kata “ini” hanyalah style penyair untuk menunjukkan kedekatannya pada kisah keluarga Drs. Muh. Kasim.

Kesalahan interpretasi juga berpeluang dilakukan pembaca yang kurang jeli terhadap baris berikut: ia bicara pada tanah yang tak bisa mendengar suaranya sendiri. Bisa saja pembaca tipe ini menafsirkan bahwa “suaranya sendiri” menunjuk pada milik “ia”. Untuk lebih memperkuat anggapan saya, saya akan menganalogikan kalimat tersebut sebagai berikut: Susi bicara pada Fitri yang tak bisa mendengar suaranya sendiri. Maknanya mulai gambling bukan? Ya, arti kalimat tersebut adalah: “ia” bicara pada tanah dimana tanah (yang diajak bicara) untuk mendengar suaranya sendiri saja tidak bisa, lalu bagaimana “tanah” dapat menangkap kata-kata “ia” ? Inilah yang dikatakan pekerjaan yang sia-sia.

Berbicara masalah kesia-siaan, orang bijak berkata: sesungguhnya tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Benarkah? Dalam puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu penyair secara tidak langsung membenarkan hal tersebut. Lewat sosok seorang ibu yang ditinggalkan oleh suaminya dengan cara yang sulit diterima akal sehat, penyair berkata: ia ingin menjadi jembatan, tempat anak-anaknya menyebrangi cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah/ … jangan bilang ia tak sempat meneteskan embun untuk bunga-bunga di halaman rumahnya. Dari kalimat-kalimat tersebut terpancar keinginan sang ibu untuk tetap tegar menghadapi cobaan hidup demi masa depan anak-anaknya. Maka sesungguhnya ada hikmah atau pelajaran berharga yang bisa dipetik dari setiap peristiwa, meskipun manis hikmah tak dapat diimbangi oleh pahitnya suatu masalah. Namun minimalnya, kita bisa tegar, mandiri, dan percaya diri dalam menghadapi suatu peristiwa sesulit dan sesakit apapun. Meskipun tidak kita pungkiri bahwa “keinginan positif” itu masih selalu berpapasan dengan “keinginan ocial e” kita. Pada salah satu baris puisinya penyair berkata: ia ingin mengutuki dirinya jadi batu atau serumpun pohonan ocial tempat ocial tanah ini terlahir. Dari dua kalimat di atas dalam puisi tersebut jelas terlihat adanya dua keinginan sang ibu yang kontras. Di satu sisi, ia ingin menjadi “manusia” tak berguna (dampak keputusasaan) namun di sisi lain, ia ingin menjadi seorang yang berguna (khususnya bagi anak-anaknya).

Adakah dua kontras keinginan “sang ibu” tersebut mengindikasikan keragu-raguan penyair dalam menentukan watak “ibu” sebagai tokoh sentral dalam puisinya? Jawabannya, mungkin saja ya! Saya melihat, Irianto Ibrahim setengah hati dalam memberikan watak “tangguh” kepada “sang ibu”. Entah karena tidak ingin terlalu meloncat dari keumuman bahwa perempuan adalah kaum yang lemah, atau akibat kesadaran sosialnya bahwa siapapun dia yang menghadapi masalah seperti yang dihadapi sosok “ibu” – laki-laki maupun perempuan – tetap akan merasakan kesedihan mendalam yang dapat membuat keteguhan hatinya berubah-ubah (kadang ingin menjadi kuat, kadang pasrah dengan kekalahan).

Namun pada kalimat berikut, Irianto Ibrahim terkesan berani melompati keumuman: ia ingat putrinya yang minta kapal-kapalan. Di larik ini, kapal-kapalan tidak lagi hanya menjadi mainan dambaan bagi anak laki-laki, tapi sudah didambakan pula oleh anak perempuan. Dalam keumuman tersebut penyair berhasil menghindari bias gender. Namun coba Anda simak kalimat-kalimat berikut: dada seorang ibu yang tak sanggup memberi/…dada seorang ibu yang menyuruh anak-anaknya mengatup bibir mereka sebelum tersenyum. Sebegitu rapuhkah perempuan yang kehilangan seorang suami di mata penyair? Hingga posisi “single parent” yang dijalani seorang “ibu” dianggapnya tak akan sanggup memberi (sesuatu kepada anak-anaknya).

Lalu bagaimana dengan larik berikut? Ia, seorang ibu yang hanya memiliki sebatang pinsil untuk sketsa keluarga, dengan wajah sang suami yang sengaja akan disamarkan. Jelas mengindikasikan bahwa sang “ibu” tak sanggup untuk menceritakan kepada anak-anaknya tentang jati diri sang Ayah jika kelak mereka (yang masih kecil) tumbuh dewasa dan menanyakan sebab Ayahnya meninggal. Atau tak perlu menunggu hingga mereka dewasa, saat masih kecilpun seorang anak secara natural akan menanyakan sosok Ayahnya yang sudah tak dilihatnya bersama-sama mereka lagi. di punggungnya, ribuan tanda / dipikulkan anak-anaknya/ yang melarangnya berbaring/ yang dijawab dengan tatapan mata berkilat-kilat. Atau, sengaja disamarkan karena sang “ibu”pun tidak sanggup untuk menanggung cemooh dari orang lain perihal suaminya yang pernah dituding sabagai anggota PKI. Ini menunjukkan bahwa penyair memang belum nrimo (kata wong Jowo) jika harus menuliskan tentang perempuan yang tegar seutuhnya setelah kehilangan seseorang yang sangat dicintainya. Tapi sekali lagi,puisi ini hanyalah sepenggal potret dari sebuah proses kehidupan yang dijalani seorang “ibu” sepeninggal suaminya. Dan kesedihan seperti itu lumrah dialami oleh setiap manusia – siapapun ia.

Kini kita sedikit bergeser dari realitas sejarah ke realitas dan berbagai permasalahannya yang di angkat oleh penyair ke dalam puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu.

Sebagai anggota masyarakat, penyair juga memiliki hak dan tanggungjawab untuk memelihara sopan santun dan tata ocia dalam menuliskan realitas ocial yang terjadi di sekitarnya. Jangan sampai puisi-puisinya menyinggung atau menyakiti pihak tertentu, apalagi sampai menulis kebohongan terhadap realitas. Dengan memenuhi kewajibannya itulah, masyarakat akan memberi respon yang setimpal terhadap karya-karya yang dihasilkannya.

Inilah yang berhasil dilakukan Irianto Ibrahim dalam puisinya Sekantong Luka dari Seorang Ibu. Keadaan masyarakat Buton pasca pergulatan sejarah Buton 1969 ia gambarkan lewat Sekantong Luka dari Seorang Ibu yang memuat berkantong-kantong luka masyarakat Buton lainnya – luka kita smua. Seorang Ibu yang masih harus berjuang membesarkan anak-anaknya tanpa sang suami di sisinya. Dan kisah “ibu” ini telah mewakili kisah sekian banyak istri korban kelamnya sejarah Buton tahun 1969 yang juga telah menelan nyawa suami mereka.

Dalam puisi Sekantong Luka dari Seorang Ibu, hubungan antara Ibu, Ayah, dan anak dijalin penyair dengan intensitasnya masing-masing. “ibu” sebagai tokoh sentral lebih banyak bersosialisasi dengan anak-anak dan suaminya (meskipun lewat kenangan dan keinginan semata). Ia iangin menjadi jembatan, tempat anak-anaknya menyebrangi cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah, namun suara tertahan dari leher tercekik tak sempat memandunya berdoa/… ia ingat putrinya yang minta kapal-kapalan/… di punggungnya, ribuan tanda ocia dipikulkan anak-anaknya /…lalu dibasuhnya muka merahnya dengan darah suaminya/… ia inginkan pelukan dari seorang suami/… ia masih khusyuk menciumi sobekan kafan yang tak sempat ia balut pada tubuh suaminya.

Untuk menggambarkan interaksi sang “ibu” terhadap masyarakat di lingkungannya saat itu, penyair menulis: … sebab baginya kaki-kaki kursi yang diinjakkan pada kuku-kuku kaki suaminya tak pernah benar-benar mengenal rasa sakit…/… semacam perisai para tentara yang disarungkan pada tangan sebelah kiri/… seorang ibu yang tak dibolehkan mengucap tahlil saat pemakaman suaminya/ yang meronta dan menangis, sambil mengintip dari kangkangan kaki kekar penggali kubur tanpa rasa iba di wajah mereka/… sebab seusai shalat subuh, saat para nelayan telah kembali ke dada istri-istrinya…/ Pada beberapa larik inilah penyair mampu menjaga sopan santunnya dalam menulis. Penyair mampu memekan emosinya agar tidak lebih kuat dari imajinasinya. Sehingga karyanya begitu “ramah” meskipun kisahnya diangkat dari sebuah realitas sejarah yang tidak bersahabat.

Sedangkan untuk menggambarkan interaksi sang “ibu” terhadap daerah dan lingkungan alamnya, penyair menulis: di sebelah sana: di ujung pantai terjauh, ia melihat kapal-kapal mengibarkan ocia dan memasang lampu-lampu/…dada yang menampung sunyi nyanyian mantra para tetua adapt/… darah yang kemudian hari akan ia larung ke laut banda/… pelukan terakhir yang ingin ia bingkai dengan pelepah pisang atau patahan ranting pohon jarak dari kuburan itu. Buton yang terkenal dengan keindahan pemandangan alam dan lautan birunya yang membentang luas, terkesan tidak ingin diabaikan penyair dalam puisinya ini. Meskipun dengan sisi kesederhanaan Buton, penyair tetap berhasil memperlihatkan aura Buton sebagai salah satu daerah ocial e di tanah air. Selain itu penggambaran alam yang dilakukan penyair juga telah bersifat khusus meski dengan frase yang paling sederhana sekalipun: pelepah pisang, patahan ranting pohon jarak, dan laut banda. Pemilihan ketiga “benda” itu jelas berdasar atas pengetahuan penyair bahwa di Buton tumbuh (ditanam) pohon pisang dan pohon jarak, serta pengetahuannya terhadap batas-batas daerah Buton, di mana daerah Buton sebelah timur berbatasan dengan laut banda. Atau pohon pisang dan pohon jarak hanya tanaman “kira-kira” yang tumbuh di kepala penyair ketika menuliskan baris ini? Karena pohon yang paling dekat dengan gambaran kesederhanaan diantaranya adalah pohon pisang (dengan pelepahnya) dan pohon jarak (dengan patahan rantingnya). Atau penyair memang tahu bahwa di sekitar makam suami sang “ibu” tumbuh kedua pohon tersebut?

Dan satu hal yang terpenting adalah penyair tidak lupa untuk memberikan apresiasi kepada tokoh “ibu” dalam puisi yang ditulisnya. jangan bilang ia tak sempat meneteskan embun untuk bunga-bunga di halaman rumahnya. Inilah yang menjadi interaksi ocial paling bersahaja dalam puisi ini. Sebab dari kalimat tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa sosok “ibu” dengan “sekantomg luka” yang dipikulnya, mampu bangkit demi masa depan anak-anaknya – demi berserinya kembali kehidupan keluarganya. Sebab seusai shalat subuh, saat para nelayan telah kembali ke dada istri-istrinya, ia masih khusyuk menciumi sobekan kafan yang tak sempat ia balut pada tubuh suaminya. Maka hanya dengan mendekatkan diri pada Tuhan, niscaya keikhlasan akan menjadi hal termudah untuk dilakukan. Di mana penyair hadir untuk membagi sebanyak-banyaknya makna kepada para pembacanya,

Irianto Ibrahim pun telah melakukannya. Ia ikhlas membagi sebanyak-banyaknya makna kepada para pembacanya dengan kesadaran bahwa puisi bukan sekedar sarana hiburan. Tapi lebih dari itu, puisi merupakan salah satu sarana edukasi. Maka secara umum, Irianto Ibrahim telah berhasil memberikan banyak pelajaran sejarah plus-plus kepada para pembaca dan calon pembacanya lewat Sekantong Luka dari Seorang Ibu.



Read On 0 komentar

PESAN MORIL SEPASANG BALING-BALING KARYA DEA ANUGRAH

06.47
Oleh: Sitti Rahmawati (A1d1 09 070)


Puisi merupakan salah satu genre(jenis) karya sastra yang mengalami perkembangan yang sangat cepat. Jika dulu kita masih sangat terikat dengan bentuk puisi lama yang begitu konvensional, kini perlahan bahkan lazim kita menjadi bebas dengan semua keterkaitan pada konteks berpuisi terdahulu. Lebih tepatnya sekarang dikatakan puisi bebas, di mana sudah tidak ada lagi pembatasan pada bentuk yang harus diikuti. Selain itu, juga ada aspek isi. Kesan bebas sepertinya mengilhami banyak penulis puisi untuk bereksplorasi dengan puisi dewasa ini. Kebebasan dalam berpuisi misalnya ditunjukan dengan bentuk puisi yang pendek (sajak pendek) ataupun puisi yang berupa cerita atau narasi panjang dengan muatan makna yang banyak pula tentunya.
Dea Anugrah misalnya, salah satu penulis muda yang kebanyakan puisi-puisinya berbentuk sebuah cerita pendek, yang dipotret dari lingkungan sekitarnya, misalnya puisi” Tanggal 14 bulan ini, Sepak bola, Menjelang Liburan, Bocah Belang, Sepasang Baling-baling, yang termaktub dalam buku kumpulan puisi Penulis(itu)Bodoh.
Penulis ini lahir di Pangkal Pinang, 27 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen dan esei dalam Bahasa Indonesia. Semasa SMA bergiat di Bengkel Sastra SMA N 1 Sungailiat. Saat ini sedang menumpuk pendidikan di Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (angkatan 2008) dan bergiat di Komunitas Sastra Rawarawa (KSSR). Karya-karyanya berupa puisi di muat dan disiarkan melalui sejumlah media lokal maupun nasional. Penyair (itru) Bodoh adalah buku puisinya yang terbit pertama kali. Dan dua karyanya yang belum di terbitkan yang termaktub fakta dalam buku kumpulan puisi: Ziarah Kitab Bumi dan Sepasang Baling-baling. Sekarang ini sedang menyiapkan buku kumpulan puisinya yang ke tiga: Lampu serangga musim panas
Dea Anugrah sendiri memilih untuk menjadi penyair karena gemar mabuk puisi dan berbulat tekad untuk meminangnya. Setelah menikah,belakangan semakin memantapkan diri berada dijalur poligami, hidup dengan istri-istri kekasih: bulan,malam,buku dan puisi
Dalam kaca mata saya sosok Dea Anugrah adalah sosok yang sangat antusias dalam bidang sastra khususnya puisi. Diusianya yang tebilang cukup muda Dea Anugrah telah menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi dan karya-karyanya ini telah “mewabah” di masyarakat.
Dari beberapa puisi Dea Anugrah yang termaktub dalam buku kumpulan puisi Penyair (Itu) Bodoh, saya tertarik untuk mengkaji puisinya yang berjudul Sepasang Baling-Baling. Dalam puisi Sepasang Baling-Baling ini lebih mudah untuk dikaji karena bahasa yang digunakan cukup komunikatif.
Berikut ini lampiran puisi Sepasang Baling Baling:

Sepasang Baling Baling

Abang tukang mainan
Lewat di depanku
Ia belumterlalu tua, mungkin sebaya ayahku
Wajahnya tampak lelah, berpeluh
Berdebu
Tapi senyumnya ramah
Sampai-sampai aku pun tahu dua giginya ompong

Ia menyapaku
Aku mengajaknya beristirahat sejenak
Sejenak saja
Jujur saja, aku tak tega melihatnya
Tapi ia menolak
Katanya : “anakku belum makan”
Kulihat arloji jam empat sore

Ah, aku iba
Kubeli sepasang baling baling darinya
Ia berterima kasih, lalu pergi, kembali menjaja dagangannya
Jadilah balin baling itu ku bawa dalam tasku

Tapi kemarin aku kehilangan sepasang baling baling kesayanganku
Lebih tepatnya kukasihkan ke orang lain
Seorang anak kecil
Ia meminta dariku
Saat kutanya untuk apa, ia tak menjawab
Sudalah kuberikan saja
Tapi aku penasaran juga, kuiti anak itu
Cukup jauh hingga sampai di komplek perkuburan yang dinamai “orang miskin orang pinggiran”
Ia mencari cari sebuah kubur
Diamdiam kuikuti terus
Hingga kulihat ia berhenti di samping sebuah kuburan sederhana
Yang agak jauh dari kuburan lainnya
Dekat situ ada baliho besar tertuliskan, “rakyat melarat, sampah masyarakat”
si anak tersenyum pada (kuburan itu)
sayup terdengar : “ayah, ini kubawakan sepasang baling
baling untukmu,moga kamu tak kesepian lagi.
Ah, aku sebaiknya pergi saja
Pulang ke tubuhku
Tubuh anak itu


Abang tukang mainan adalah larik pertama dari puisi Sepasang baling-baling. Entah mengapa ketika membaca larik tersebut rasanya sangat tidak asing ditelinga saya, padahal puisi Sepasang baling-baling ini baru pertama kali saya baca. Setelah membaca berkali-kali dn mengingat-ingat larik tersebut ternyata larik abang tukang mainan ternyata mirip dengan penggalan lagu anak-anak karya yaitu abang tukang bakso. Larik tersebut membuat saya rasanya ingin kembali ke masa kecil. Larik abang tukang mainan secara tidak langsung menunjukkan sisi “kekanak-kanakkan” sosok Dea Anugrah yang memang masih sangat muda. Ini terlihat dari beberapa judul puisinya yang lain seperti : tanggal 14 bulan ini, sepak bola, bocah belang, gadis manis yang menghiburku dengan cerita paling lucu, dan lain sebagainya. Puisi tersebut bukan semata-mata menunjukkan sosok Dea yang masih remaja, tetapi di dalamnya mengandung pesan-pesan moril ala ABG.
Dalam puisi yang berjudul Sepasang Baling-baling karya Dea Anugrah ini menceritakan tentang kisah kehidupan rakyat kecil yang hidup dan waktunya selalu di manfaatkan untuk mencari sesuap nasi,terlihat pada larik: ia menyapaku/aku mengajaknya beristirahat sejenak/sejenak saja/jujur saja, aku tak tega melihatnya/ tapi ia menolak/ katanya:”anakku brlum makan”/kulihat arloji, jam empat sore.
Larik tersebut menunjukan betapa “kerasnya” kehidupan yang dijalani,oleh abang tukang mainan ini untuk mencari sesuap makanan saja,bahkan tak ada waktu untuk beristirahat sejenak. Yang lebih memprihatinkan lagi ketika orang tersebut meninggal,tempat perkuburannya di berikan nama khusus orang miskin orang pinggiran dan di daerah sekitar situ terdapat baliho besar bertuliskan rakyat melarat,sampah masyarakat.
Ironis rasanya,orang miskin cenderung di selewengkan,dikebawahkan,dianak tirikan,atau didiskriminasikan. Ketika seseorang kembali ke asalnya (meninggal) semuanya sama akan kembali ke tanah (kuburan). Namun di sini penulis menunjukann betapa terdiskriminasinya rakyat atau orang-orang kecil. Bahkan ketika matipun/meninggal,perkuburan orang miskin atau rakyat kecil diberikan nama khusus “orang miskin orang pinggiran”.
Menurut saya hal demikian tidaklah berprikemanusiaan. Bahkan terdapat sebuah baliho besar bertuliskan “rakyat melarat,sampah masyarakat”. Baliho merupakan suatu produk yang menyerupai poster tetapi lebih besar. Sungguh hal yang tidak pantas sebuah baliho di tempat seperti itu. Padahaal masih banyak penempatan baliho-baliho yang tepat seperti dijalan raya misalnya bertulis “Hindarilah Narkoba, para pemuda adalah Aset Negara,”.
Saya rasa hal seperti itu akan lebih bermanfaat bagi Negara ketimbang memasang baliho besar di kompleks perkuburan. Kalau memang harus ada sebuah baliho,mengapa baliho tersebut tidak bertuliskan “kuburan umum” saja,tanpa harus mengkhusus-khususkan tempat/kompleks kuburan bagi orang-orang kecil.
Jika kita melihat tingkat kemiskinan di Indonesia memang cukup tinggi. Prediksi tingkat kemiskinan tahun 2010,BPS:berkisar 14,15%. Jadi, bisa kita bayangkan jika semua kompleks perkuburan orang miskin ditulis “orang miskin orang pinggiran” atau “rakyat melarat, sampah masyarakat”. Betapa banyaknya baliho yang dibutuhkan untuk hal-hal yang menurut saya sangat tidak penting. Atau mungkin jika tempat itu tempat orang-orang “berada” atau orang kaya,balihonya bertuliskan “kompleks perkuburan orang kaya orang terpandang” atau mungkin “rakyat bahagia bunga masyarakat”. Sungguh hal yang lucu jika seperti itu jadinya.
Saya rasa Negara kita benar-benar membutuhkan sosok pemimpin yang tidak hanya bertekad untuk mensejahterakan rakyat,memajukan pendidikan,menggelar bantuan subsidi,mendirikan pusat kesehatan gratis di mana-mana,dan lain sebagainya. Tetapi, wujud nyata dari tekad-tekadnya itu sangat diharapkan, bukan hanya sekedar “air ludah yang bermuncratan”. Negara kita sangat membutuhkan sosok pemimpin yang dekat dengan rakyat dan menyatu dengan rakyat, terlebih bagi rakyat atau orang-orang kecil.
Dalam puisi Sepasang Baling-Baling penulis cenderung melakukan “permainan tokoh” untuk mengecoh pembacanya. Namun, permainan tokoh itulah yang kemudian membuat puisi tersebut menjadi menarik, karena pembaca terkesan penasaran terhadap tokoh anak kecil yang pada bait terakhir dijelaskan bahwa “aku lirik” ingin kembali ke tubuhnya-tubuh anak kecil itu: Ah,aku sebaiknya pergi saja/, Pulang ke tubuhku/, Tubuh anak itu/
Kemudian muncul pertanyaan dibenak saya, mengapa “aku lirik” keluar dari tubuhnya, apakah yang ia cari? Atau tiga larik tersebut, hanya ingin menggambarkan bahwa “aku lirik” ingin seperti anak itu?
Menurut saya, Dea tidak begitu pandai untuk membuat taktik dalam menyembunyikan makna bait terakhir tersebut. Lihatlah baris-baris berikut: abang tukang mainan/ lewat didepanku/ ia belum terlalu tua, mungkin sebaya ayahku. Jelas baris-baris ini, dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Jika ‘anak kecil’ adalah aku lirik maka otomatis ayah aku lirik juga telah meninggal. Namun, mengapa pada baris di atas, penyair membandingkan usia abang tukang mainan yang masih hidup dengan usia ayahnya yang sudah meninggal? Bukankah itu tidak logis? Atau hal tersebut menunjukan bahwa bait terakhir yang menjadi klimaks cerita, tidak direncanakan sebelumnya untuk seperti itu? Atau ini hanya merupakan kekurangtelitian Dea Anugrah?
Menurut saya, Dea Anugrah dalam puisi sepasang baling-baling berhasil menghasilkan cerita yang apik dengan tema, tokoh, alur, dan latar yang menarik. Tapi, membaca cerita tersebut, membuat saya hampir-hampir lupa bahwa teks tersebut adalah sebuah puisi. Pemilihan kata yang dipilih oleh penyair dari bait pertama hingga bait ke enam menurut saya sangat bertele-tele. Sehingga, saya merasa nyawa puisinya hanya pada bait terakhir saja.
Pada beberapa baris ada semacam baris pengikut yang tegas yang menurut saya cukup membari efek “slow motion” pada puisi ini misalnya: aku mengajaknya beristirahat sejenak/ sejenak saja/. . .aku kehilangan sepasang baling-baling kesayanganku/ lebih tepatnya kukasihkan ke orang lain/ seorang anak kecil.
Namun, terlepas dari semua itu, Dea Anugrah dalam puisinya Sepasang Baling-Baling mampu menghadirkan realitas sosial dengan bahasa yang sederhana, namun mampu mengetuk kesadaran para pembacanya terutama generasi muda. Dea melukiskan tentang kesahajaan abang tukang mainan, kebaikan aku lirik, dan kemiskinan anak kecil yang secara umum mewakili keadaan sosial masyarakat Indonesia.



Read On 0 komentar

Total Tayangan Halaman

Zona Kendari

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign


Universitas Haluoleo

Kedai Estetik : Berbahasa dengan jujur.

merupakan ruang publikasi Mahasiswa | Program Mata Kuliah kajian Puisi tahun 2010/2011 | Program Studi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan | Universitas Haluoleo | Kendari Sulawesi Tenggara Indonesia.

Recent Comments kedai estetik