cakrawala
Selamat datang di ruang ulasan puisi Kedai Estetik (kelas kajian puisi angkatan 2009 Universitas Haluoleo)

RENUNGAN KLOSET: RENUNGAN TENTANG KEKUATAN PEREMPUAN DALAM MENUMBANGKAN HEGEMONI PATRIARKI

10.42
oleh: La Ode Gusman Nasiru

        Penyair kenamaan Indonesia, Seno Gumira Adjidarma, pernah berkata dalam tulisannya Kata Pengantar untuk buku kumpulan puisi Renungan Kloset bahwa puisi memang tidak bisa menunda kematian manusia yang sampai pada akhir hidupnya, tapi puisi jelas menunda kematian jiwa dalam diri manusia yang masih hidup. Penundaan demikian tidak datang dengan sendirinya. Tidak tiba-tiba seperti buah apel yang jatuh ke tanah karena pengaruh gravitasi, begitu kata hukum fisika. Puisi membantu keberlangsungan hidup jiwa-jiwa manusia sebab ia mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin. Barangkali definisi puisi yang ditelurkan dari buah pemikiran Ralph Waldo Emerson tersebut dapat sekaligus memberi pemahaman tentang benang merah antara hidup, puisi, dan kematian yang tertunda.
Puisi-puisi yang tertuang dalam buku kumpulan puisi Renungan Kloset memberi banyak pelajaran kepada pembaca (baca: penafsir). Pelajaran itu begitu akrab dengan kita sebab tema-tema yang menjadi gagasan utama dalam kumpulan tersebut begitu dekat dengan kita dalam konsep kehidupan (sosial). Bukankah semua puisi juga demikian? Puisi-puisi dalam Renungan Kloset begitu lekas membekas dalam ingatan dan pemahaman para pembaca. Ia seperti tumpahan kopi samping roti sarapan pagi yang menodai taplak putih meja makan. Relatif susah dibersihkan. Sebab renungan kloset adalah renungan paling privasi dan intensitas keterjadiannya sangat tinggi.
Tema-tema tersebut membahasakan politik, orang-orang kecil, Tuhan, cinta, dan kehidupan lelaki—perempuan (atau sebaiknya perempuan—lelaki?) yang berkelindan. Tema terakhir kemudian menjadi hal yang memiliki stimulus lebih besar bagi saya, sehingga membuat saya terangsang untuk menjelaskan secara eksplisit kepada pembaca.
Tidak semua puisi di dalam kumpulan sajak karya Rieke Diah Pitaloka tersebut menjadi pokok identifikasi pemaparan saya terhadap tema terancang. Bahkan, hanya dua yang saya anggap cukup untuk mewakili beberapa puisi yang relevan dengan ambisi perempuan dalam menumbangkan patriarki. Ialah Ibu dan Libas. Dari keempat puluh satu puisi yang ditulis dalam rentang 1998 sampai 2003, ada beberapa yang memang secara gamblang merumuskan hubungan laki-laki dan perempuan sebagai tema sentral. Puisi-puisi tersebut yakni Ibu, Mempelai Wanita, Waktu tak Pernah Berbohong, Libas, dan Sepenggal Adegan. Namun demikian, ada juga puisi yang lain yang meskipun tidak memfokuskan ide terhadap hubungan laki-laki—perempuan, tetap juga memasukkan pokok pemikiran tersebut secara implisit ke liuk arus kalimat yang mengalir dalam gelombang puisi.
        Jika paper ini menjadikan puisi sebagai objek wacana, tentu ada alat yang digunakan sebagai pisau kaji untuk menguliti objek tersebut. Konsepnya sederhana, setiap buah yang kulitnya tidak dikonsumsi pasti memerlukan pisau tajam untuk mengupasnya dan memakan bagian inti yang diperlukan. Teori feminis dianggap paling pantas untuk menguliti (baca: menelaah) buah (baca: puisi) teranalisis. Dengan demikian, akan lebih bijak jika kita terlebih dahulu berkenalan dengan teori yang dimaksud.
Feminisme merupakan sebuah teori yang menganggap polarisasi laki-laki dan perempuan bukanlah hal yang bijaksana untuk diterapkan dalam kehidupan sosial kedua kubu makhluk tersebut. Legitimasi tentang pembedaan anak Adam dan Hawa hanya dibenarkan jika dipandang dari sudut seksual atau jasmaniah. Sedangkan sistem kebudayaan dan lingkungan sosial bukan tempat yang sahih untuk mempertentangkan perbedaan kodrati.
        Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (women), berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbedaan biologis, sebagai hakikat alamiah), masculine dan feminin (sebagai aspek perbedaan psikologis dan kultural). Dengan kalimat lain, male-female mengacu pada seks, sedangkan masculine-feminine mengacu pada jenis kelamin atau gender, sebagai he dan she (Selden dalam Ratna, 2008: 184).
        Lebih jauh Ratna mengemukakan bahwa tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan yang dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian lebih sempit, yaitu dalam sastra, feminis diaktikan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Emansipasi wanita dengan demikian merupakan aspek dalam kaitannya dengan persamaan hak. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan kesetaraan gender.
Pemaparan teori feminisme di atas sedikit banyak akan membantu mempermudah pemahaman terhadap perkawinan konsep alat kaji dengan objek terkaji.
Sebelum berbicara banyak mengenai isi kedua puisi Ibu dan Libas yang masing-masing ditulis pada tahun 1998 dan 2001, terlebih dahulu perhatikan kedua sajak di bawah ini.

                 IBU

                 Aku dilahirkan dalam deras hujan Februari,
                 saat dingin menyelimuti
                 ruas-ruas hatimu
                 dalam dendam yang membatu
                 tangisku
                 membunuh hening yang mencekam beribu jiwa

                 Tahun ke tahun berpaling dariku
                 tanpa jejak keindahan
                
                 Ibu,
                 siapa yang merenggut kasih dalam jiwamu?
                 menghempaskannya ke dasar laut
                 dan aku tahu
                 kau besarkan anakmu
                 dalam sisa-sisa kemanusiaan
                 dalam beban nurani yang tak terpungkiri
                 Aku tak merestui kebencianmu,
                 namun aku tak akan mengutukmu

                 Ibu,
                 apakah kau akan tetap memelihara
                 bongkahan bara itu,
                 hingga ragamu lebur,
                 hangus tanpa cahaya?
                 Atau,
                 katakan siapa yang memperkosamu!

                 Pilihlah yang terakhir
                 aku berjanji,
                 akan mengejarnya
                 akan kutikamkan segenap kepedihanmu

                 ijinkan,
                 meski ia ayahku sendiri

                 Jakarta, 15051998



                 LIBAS

                 Aku kuda betina
                 berlari kencang menuju batas labirin
                 tak ada yang mudah
                 berkelok
                 menikung
                 menanjak
                 turun naik berjuta lembah
                 Namun, aku tak pernah lupa menebar asmara
                 pada dinding beku
                 pada rumput kerontang
                 Maka, bersemilah kuncup-kuncup lavender
                 mengangguk, tersenyum
                 gairah,
                 mengusapkan wewangian ke tubuh liarku
                 Aku kuda betina
                 melesat menuju batas langit
                 tak ada jantan yang mudah
                 mendekatiku
                 apalagi hanya berbekal seonggok birahi
                 Mau,
                 lakukan
                 akan kusepak,
                 sampai terjerembab memeluk bumi
                 bagai janin meringkuk dalam rahim
                
                 Aku kuda betina
                 berlari menembus batas labirin
                 juraiku terkembang
                 mencium angin yang setia menunggu

                 Tebet, 24062001

        Betapa ekstrem gagasan “pembangkangan” Rieke terhadap stigma sosial tentang subordinasi perempuan. Dijelaskan oleh Pradotokusumo (2002: 59) bahwa feminis mempermasalahkan prasangka dan praduga terhadap kaum perempuan yang dibentuk oleh kaum laki-laki, dan sedikit pun tidak membiarkan kecenderungan kaum laki-laki menjerumuskan kaum perempuan untuk berperan menjadi tokoh yang diremehkan. Pada puisi Ibu, asumsi saya mengarah kepada maksud Rieke untuk menentang segala bentuk peremehan eksistensi perempuan dan keperempuanan.
        Larik yang berbunyi: siapa yang merenggut kasih dalam jiwamu? membawa pemahaman kita ke dasar pemikiran si aku lirik yang tidak ingin dijadikan tokoh yang diremehkan. Maksud pembangkangan tersebut, ia lesapkan ke dalam kisah ibunya sebagai perempuan yang diremehkan. Artinya, dapat disimpulkan bahwa subjek yang merenggut sesuatu dari objek memiliki anggapan objek tidak memiliki kemampuan bertahan yang memadai. Anggapan tersebut berimplikasi pada sikap meremehkan objek sehingga menimbulkan laku renggut. Pada hakikatnya, sikap Rieke berpijak pada satu landasan keyakinan bahwa—setidaknya dari potongan larik di atas—dominasi laki-laki masih kokoh berdiri di atas unsur keperempuanan. Dan siklus marginalisasi hanya bisa dihentikan dengan perlawanan terhadap hegemoni patriarki.
        Peremehan tersebut mengendarai satu masalah penting yang menjadi fokus permasalahan feminisme. Unsur subordinasi atau penempatan kedudukan perempuan di bawah derejat laki-laki juga mewabah dalam pengalaman batin penyair, sehingga ia memunculkan pertanyaan selidik kepada perempuan siapa yang merenggut kasih dalam jiwamu? dengan mempertahankan praduga bahwa subjek dalam perenggutan itu adalah laki-laki yang secara eksplisit dihadirkan melalui larik meski ia ayahku sendiri.
Dalam keterpurukan kata turunan peremehan, penyair berusaha membuktikan bahwa perempuan memiliki kelebihan luar biasa dalam aspek psikologi dan manajemen emosi. Kedua hal tersebut terasa begitu krusial sebagai cara untuk bertahan hidup. Hal tersebut sesuai dengan larik: kau besarkan anakmu/ dalam sisa-sisa kemanusiaan/ dalam beban nurani yang tak terpungkiri.
        Larik di atas menunjukkan kebesaran jiwa dan kemampuan perempuan sebagai upaya resistensi dalam mengatasi jebakan lingkaran masa lalu yang kelam. Kehalusan jiwa perempuan menimbulkan getaran mistik yang mampu memberikan sekian porsi pemikiran kepada kenangan dan selebihnya mempersiapkan keutuhan jiwa untuk memasuki babak kehidupan yang baru. Jiwa keperempuanan yang subtil menjadi pembeda sekaligus keunggulan kaum perempuan dibandingkan laki-laki. Dan laki-laki tidak dapat menolak hal itu. Kesubtilan itu tergambar pada larik dalam Libas: namun aku tak pernah lupa menebar asmara/ pada dinding beku/ pada rumput kerontang// maka, bersemilah kuncup-kuncup lavender/ mengangguk, tersenyum/ gairah,/ mengusapkan wewangian ke tubuh liarku//.
        Lihatlah, betapa dengan segala kelembutan itu perempuan masih mampu melawan bahkan bilamana perlu berpotensi untuk mendominasi.
        Anggapan Pradopo pada bagian terdahulu juga tepat untuk dijadikan titik pijakan terhadap larik: tak ada jantan yang mudah/ mendekatiku/ apalagi hanya berbekal seonggok birahi dalam puisi Libas. Kompleksitas superioritas laki-laki tampak juga menjadi bahan baku dalam larik di atas. Larik tersebut mengisyaratkan anggapan laki-laki terhadap perempuan dalam urusan cinta asmara. Secara generik, laki-laki beranggapan bahwa pada umumnya perempuan dapat ditaklukkan di bawah kekuasaan laki-laki dengan modal nafsu birahi. Pada kenyataannya dugaan konvensional tersebut kemudian ditumbangkan dengan buas oleh larik puisi di atas bahwa perempuan memiliki kesucian yang luhur. Sehubungan dengan itu, mereka memiliki kekuatan yang mahadasyat untuk menumbangkan setiap laki-laki yang mendekat dengan maksud pemuasan nafsu belaka. Perempuan memiliki kekuatan kuda betina yang berlari kencang menuju batas labirin/ tak ada yang mudah/ berkelok/ menikung/ menanjak/ turun naik lembah. Dengan pembuktian kekuatan dan kekuasaan atas dirinya, argumen apa lagi yang dapat dikemukakan sebagai pembenar bahwa perempuan dapat sekenanya dijadikan objek peremehan laki-laki?
        Pemaparan tentang penolakan anggapan peremehan cakupan unsur keperempuanan oleh hegemoni patriarki di atas, setidaknya memberi gambaran bahwa banyak opsi dan alternatif yang dapat dilakukan oleh perempuan sebagai sumber kekuatan mereka untuk menumbangkan kuasa lelaki dan/atau stigmanya yang membudaya. Kekuatan perempuan yang multi tersebut bertujuan agar kesadaran kultural yang selalu memarginalkan perempuan dapat diubah sehingga keseimbangan yang terjadi adalah keseimbangan yang dinamis.
        Selain itu, pembangkangan perempuan dengan mengedepankan akumulasi himpunan kekuatan mereka dalam upaya menolak inferioritas—perempuan adalah laki-laki yang tidak utuh—juga terdapat dalam larik-larik lain kedua puisi tersebut. Muaranya tetap, membongkar pemahaman peminggiran perempuan, representasi perempuan sebagai ‘yang lain’, dengan pertanyaan metaforis “Di manakah dia?”.
        Lebih jauh menyelam di kedalaman makna larik: Aku tak merestui kebencianmu, namun aku tak akan mengutukmu dalam Libas, penyair kembali menunjukkan kemapanan esensinya sebagai makhluk yang selalu “dinomorduakan”. Betapa kokoh pemikiran itu berakar menjalar ke dalam seluruh urat saraf per kepala perempuanmemiliki kesadaran. Pembuktian yang cukup membuat saya tersentak ialah perempuan bahkan memiliki kuasa untuk menghujat dirinya sendiri—perempuan lain yang melahirkan dan menjadi ibunya. Aspek yang dipentingkan dalam hal ini ialah kebebasan perempuan yang berdiri menjadi dirinya sendiri sebagai makhluk yang utuh di tengah lingkaran kultural. Konsekuensi logisnya ialah perempuan tidak segan-segan mencemooh dirinya jika sedang berdiri pada jalur kesalahan yang nyata, apatah lagi orang lain—laki-laki yang bersalah dan menjadikan perempuan sebagai objek atas anomali suatu sikap. Keabnormalan sikap yang ada pada luar diri perempuan dan menjadikan perempuan sebagai korban akan melahirkan suatu dampak yang serius: perlawanan perempuan!
        Feminisme menjadi endemis dalam Ibu dan Libas. Kedua puisi itu menjadi material bagi penyair untuk mendekonstruksi aspek sosial historis yang menjerat perempuan ke dalam dikotomi sentral marginal, superior inferior (Ratna, 2008: 185).
        Upaya dekonstruksi semakin gamblang tampak pada larik Ibu: atau/ katakan siapa yang memperkosamu!// Pilihlah yang terakhir/ aku berjanji,/ akan mengejarnya/ akan kutikamkan segenap kepedihanmu// ijinkan,/ meski ia ayahku sendiri//. Larik dalam puisi Libas juga merepresentasikan tindak penghancuran kebudayaan laki-laki yang telah mapan. Tak ada jantan yang mudah/ mendekatiku/ apalagi hanya berbekal seonggok birahi// Mau,/ lakukan/ akan kusepak,/ sampai terjerembab memeluk bumi/ bagai janin meringkuk dalam rahim//.
        Kedua larik di atas sama-sama berisi tentang penolakan terhadap stigma masyarakat dan budaya yang cenderung memarginalisasi perempuan selama berabad-abad. Kondisi itu selalu menempatkan kaum perempuan hanya berfungsi sebagai pembantu, pelayan, pengganti, alternatif kaum laki-laki yang lebih kuat. Dua larik di atas dapat berperan sebagai pusat rotasi dalam dua puisi yang memuatnya. Larik-larik tersebut secara tersurat menghadirkan kompleksitas pemikiran penyair terhadap kekuatan perempuan untuk menjadi subjek dalam peristiwa, tidak melulu sebagai objek.
        Pada puisi Ibu—berdasarkan larik di atas, penyair dengan berani berlari meruntuhkan doktrin yang selalu menempatkan perempuan sebagai objek penderita dalam peristiwa. Dengan segenap kekuatan yang melahirkan semangat untuk menumpas inferioritas, perempuan bahkan mampu menghabisi laki-laki yang disimbolkan dengan kata ayah pada larik tersebut. Penyair yang mewakili perempuan tidak segan-segan untuk tampil menjadi pelaku, menjadi sesuatu yang dipentingkan dalam tradisi. Hal ini dilakukan tidak lain sebagai upaya untuk menyetarakan kedudukan atau menyejajarkan laki-laki dan perempuan agar dapat berdiri pada garis kesetaraan gender yang harmoni.
        Representasi tindakan represi itu terejawantah dalam larik: akan kutikamkan segenap kepedihanmu// ijinkan,/ meski ia ayahku sendiri//. Perlawanan kaum perempuan bahkan dapat menjadi ironi yang tidak diharapkan. Seorang perempuan dengan tidak ragu-ragu akan menikamkan (baca: membunuh) ayahnya sendiri—sebagai simbol laki-laki—atas dasar dendam yang menjadi segenap kepedihan ibunya—simbol perempuan. Hal demikian setidaknya dapat menjadi gambaran bahwa dinasti paradigma patriarkhat yang mengondisikan superioritas laki-laki sebagai makhluk penakluk dan memiliki kekuatan ekspansi serta sifat agresif dapat dihancurkan oleh kuasa perempuan. Perempuan yang pandai berpikir dan memahami potensi dirinya dapat dengan mudah mencari jalan untuk melepaskan diri dari kerangkeng patriarkhat, menjadi manusia bebas, mandiri, bahkan dapat mendominasi. Hal inilah yang dilakukan oleh penyair sebagai perempuan cendekia.
        Kuasa perempuan sebagai subjek juga terasa begitu kental dalam larik Mau,/ lakukan/ akan kusepak,/ sampai terjerembab memeluk bumi/ bagai janin meringkuk dalam rahim//. Larik tersebut memerikan deskripsi bahwa perempuan tengah berdiri pada garis kesadarannya akan potensi keperempuanan yang ia miliki. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa potensi tersebut merupakan aset sensualitas yang harus dijaga kemurniannya. Dengan begitu, segala daya upaya akan dikerahkan untuk melindungi hal itu. Pada larik demikian, perempuan berusaha membenarkan posisi kaca mata budaya patriarkhat yang ablesia bahwa mereka dapat bertindak—bahkan lebih—seperti laki-laki untuk melindungi eksistensi diri. Tindakan tersebut tidak sekadar menjadi pretensi semata.
        Perhatikan kata akan kusepak. Klausa tersebut memberi jalan pemikiran baru bahwa perempuan dapat meniru cara kerja lelaki dalam membentengi diri terhadap serangan dari luar keakuannya. Cara kerja perempuan itu bahkan akan membuat laki-laki menjadi makhluk yang lemah dan tidak berdaya bagai janin yang meringkuk dalam rahim. Sudah barang tentu, lakuan perempuan tidak semata-mata diaktualisasikan dalam perlawanan fisik, tetapi juga perlawanan psikologis atau bahkan seperti yang tertuang dalam beberapa fiksi feminisme, dengan sensualitas perempuan. Keabsurdan akan berputar seratus delapan puluh derajat menjadi suatu yang niscaya bagi budaya, ketika perempuan melakukan tindakan untuk melindungi diri dan menyejajarkan posisi mereka dalam wadah kehidupan sosial kultural.
        Ada kalimat dalam salah satu acuan saya yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memang berbeda, tetapi alasan demikian tidak lantas membuat keduanya dapat dibeda-bedakan. Jika tidak, perempuan akan membangun kerajaan sendiri demi melindungi diri. Hal demikian tentu berimplikasi pada harmonisasi kehidupan. Bukankah lelaki dan perempuan saling membutuhkan untuk terus menjalin kehidupan yang selaras dan seimbang?
        Kata penyanyi balada Ebiet G. Ade “Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.”






DAFTAR ACUAN

        Hae, Zen. 2010. Dari Zaman Citra ke Metafiksi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
        K.S, Yudiono. 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.
        Pitaloka, Rieke Diah. 2004. Renungan Kloset. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
        Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.  
                Yogyakarya:  Pustaka Pelajar.
        Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2002. Pengkajian Sastra. Bandung: Wacana.
        Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik P enelitian Sastra. 
                Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
        Udu, Sumiman. 2009. Perempuan dalam Kabanti. Yogyakarta: Diandra.




Read On 0 komentar

DIMENSI PSIKOLOGIS “ROBOHNYA SURAU KAMI” KARYA A. A. NAVIS

10.23
oleh: Siti Rabiah



       “Harapan tidak selamanya sesuai dengan kenyataan, itulah hidup. Imbasnya kecewa, marah, sakit hati, dendam kesumat, egois, bunuh diri, dan sederet bentuk ekpresi negatif yang mewarnai jiwa-jiwa manusia”. Begitulah ungkapan M. Cholis dalam ulasan artikelnya yang mencoba mengambil objek karya sastra berupa cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A. A. Navis. Demikian juga yang dialami tokoh-tokoh cerita Robohnya Surau Kami, selama manusia belum bisa menanamkan dan mempraktikannya dalam dirinya akan sifat-sifat ketuhanan yang hakiki. M. Cholis juga mencoba menguraikan secara detail dalam bentuk kata-kata yang padat, jelas dan mudah dimengerti apa arti yang ingin disampaikan oleh penulis.
        Bentuk-bentuk ekspresi jiwa yang negatif tak pernah lepas dari kehidupan manusia. Robohnya Surau Kami bertemakan berbagai aspek kehidupan misalnya aspek agama, sosial, moral, dan kemanusiaan. Aspek yang diangkat dalam cerpen ini berkisar pada permasalahan dan kondisi-kondisi sosial yang terdapat dalam masyarakat Minangkabau. Dimensi psikologis merangkum gejolak jiwa manusia yang perlu dipahami, dianalisis, dan diterjemahkan dengan jelas sehingga berpengaruh terhadap cara pandang sesorang serta berpengaruh pada pembentukan kepribadiannya. Dengan cara berpikir yang benar seseorang akan dapat mengambil keputusan yang tepat pula. Apalagi di zaman yang serba sulit ini, jiwa manusia sering dihadapkan pada sebuah situasi yang sulit. Jiwa manusia kadang mengalami benturan-benturan yang mengakibatkan timbulnya penyakit-penyakit jiwa.
        Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, pergolakan jiwa didominasi oleh tokoh kakek, seorang garin, dan penjaga masjid. Tokoh kakek digambarkan sebagai orang yang taat beribadah, hampir seluruh waktu hidupnya dihabiskan untuk beribadah dan bersujud kepada Tuhan, ia tidak bekerja serta tidak memikirkan istri dan anaknya. Kakek beribadah terus dengan harapan kelak akan mendapatkan surga di alam akhirat. Tapi pergolakan jiwa dimulai ketika tokoh Ajo Sidi membual cerita tentang dialog antara manusia yang ada di neraka dengan Tuhan. Diceritakan bahwa Haji Saleh dan teman-temannya masuk neraka padahal tidak disangsikan lagi Haji Saleh taat beribadah dan menyembah kepada Tuhan. Cerita Ajo Sidi membuat jiwa kakek bergejolak kerena hidupnya mirip dengan Haji Saleh. Wajah kakek menjadi muram, ia duduk bertopang dagu, pandangannya sayu ke depan seolah-olah sesuatu membebani pikirannya.
Perasaan yang dialami kakek adalah perasaan tidak senang yang berwujud rasa sedih, duka cita, rasa takut, dan rasa gelisah. Kakek begitu terguncang oleh cerita Ajo Sidi, perasaan sedih merupakan reaksi kejiwaan terhadap perangsang yang masuk. Perasaan tersebut muncul karena kakek mengamati, menanggapi, mengingat-ngingat, serta memikirkan tentang sesuatu permasalahan.
Peristiwa yang dialami kakek ini begitu membekas dan menekan batinnya sehingga seluruh pola perilakunya berubah. Dan puncak dari tekanan batin dan perasaan yang tak tertahankan membuat kakek memutuskan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
        Kakek memilih jalan mengakhiri hidupnya karena ia mengalami frustasi dan ketegangan-ketagangan psikologi. Frustasi merupakan reaksi kakek terhadap kegagalan mengatasi reaksi negatif dari cerita Ajo Sidi.
Dari uraian tersebut di atas bahwa pendekatan psikologis dan dimensi psikologis Robohnya Surau Kami sangat urgen karena mempelajari tingkah laku manusia. Sebagai pelajaran dalam kehidupan yang pasti, semoga gambaran peristwa-peristiwa jiwa ini akan menghantarkan manusia pada kebahagiaan dan kedamaian hidup.



Read On 0 komentar

Total Tayangan Halaman

Zona Kendari

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign


Universitas Haluoleo

Kedai Estetik : Berbahasa dengan jujur.

merupakan ruang publikasi Mahasiswa | Program Mata Kuliah kajian Puisi tahun 2010/2011 | Program Studi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan | Universitas Haluoleo | Kendari Sulawesi Tenggara Indonesia.

Recent Comments kedai estetik