cakrawala
Selamat datang di ruang ulasan puisi Kedai Estetik (kelas kajian puisi angkatan 2009 Universitas Haluoleo)

PESAN MORIL SEPASANG BALING-BALING KARYA DEA ANUGRAH

Oleh: Sitti Rahmawati (A1d1 09 070)


Puisi merupakan salah satu genre(jenis) karya sastra yang mengalami perkembangan yang sangat cepat. Jika dulu kita masih sangat terikat dengan bentuk puisi lama yang begitu konvensional, kini perlahan bahkan lazim kita menjadi bebas dengan semua keterkaitan pada konteks berpuisi terdahulu. Lebih tepatnya sekarang dikatakan puisi bebas, di mana sudah tidak ada lagi pembatasan pada bentuk yang harus diikuti. Selain itu, juga ada aspek isi. Kesan bebas sepertinya mengilhami banyak penulis puisi untuk bereksplorasi dengan puisi dewasa ini. Kebebasan dalam berpuisi misalnya ditunjukan dengan bentuk puisi yang pendek (sajak pendek) ataupun puisi yang berupa cerita atau narasi panjang dengan muatan makna yang banyak pula tentunya.
Dea Anugrah misalnya, salah satu penulis muda yang kebanyakan puisi-puisinya berbentuk sebuah cerita pendek, yang dipotret dari lingkungan sekitarnya, misalnya puisi” Tanggal 14 bulan ini, Sepak bola, Menjelang Liburan, Bocah Belang, Sepasang Baling-baling, yang termaktub dalam buku kumpulan puisi Penulis(itu)Bodoh.
Penulis ini lahir di Pangkal Pinang, 27 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen dan esei dalam Bahasa Indonesia. Semasa SMA bergiat di Bengkel Sastra SMA N 1 Sungailiat. Saat ini sedang menumpuk pendidikan di Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (angkatan 2008) dan bergiat di Komunitas Sastra Rawarawa (KSSR). Karya-karyanya berupa puisi di muat dan disiarkan melalui sejumlah media lokal maupun nasional. Penyair (itru) Bodoh adalah buku puisinya yang terbit pertama kali. Dan dua karyanya yang belum di terbitkan yang termaktub fakta dalam buku kumpulan puisi: Ziarah Kitab Bumi dan Sepasang Baling-baling. Sekarang ini sedang menyiapkan buku kumpulan puisinya yang ke tiga: Lampu serangga musim panas
Dea Anugrah sendiri memilih untuk menjadi penyair karena gemar mabuk puisi dan berbulat tekad untuk meminangnya. Setelah menikah,belakangan semakin memantapkan diri berada dijalur poligami, hidup dengan istri-istri kekasih: bulan,malam,buku dan puisi
Dalam kaca mata saya sosok Dea Anugrah adalah sosok yang sangat antusias dalam bidang sastra khususnya puisi. Diusianya yang tebilang cukup muda Dea Anugrah telah menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi dan karya-karyanya ini telah “mewabah” di masyarakat.
Dari beberapa puisi Dea Anugrah yang termaktub dalam buku kumpulan puisi Penyair (Itu) Bodoh, saya tertarik untuk mengkaji puisinya yang berjudul Sepasang Baling-Baling. Dalam puisi Sepasang Baling-Baling ini lebih mudah untuk dikaji karena bahasa yang digunakan cukup komunikatif.
Berikut ini lampiran puisi Sepasang Baling Baling:

Sepasang Baling Baling

Abang tukang mainan
Lewat di depanku
Ia belumterlalu tua, mungkin sebaya ayahku
Wajahnya tampak lelah, berpeluh
Berdebu
Tapi senyumnya ramah
Sampai-sampai aku pun tahu dua giginya ompong

Ia menyapaku
Aku mengajaknya beristirahat sejenak
Sejenak saja
Jujur saja, aku tak tega melihatnya
Tapi ia menolak
Katanya : “anakku belum makan”
Kulihat arloji jam empat sore

Ah, aku iba
Kubeli sepasang baling baling darinya
Ia berterima kasih, lalu pergi, kembali menjaja dagangannya
Jadilah balin baling itu ku bawa dalam tasku

Tapi kemarin aku kehilangan sepasang baling baling kesayanganku
Lebih tepatnya kukasihkan ke orang lain
Seorang anak kecil
Ia meminta dariku
Saat kutanya untuk apa, ia tak menjawab
Sudalah kuberikan saja
Tapi aku penasaran juga, kuiti anak itu
Cukup jauh hingga sampai di komplek perkuburan yang dinamai “orang miskin orang pinggiran”
Ia mencari cari sebuah kubur
Diamdiam kuikuti terus
Hingga kulihat ia berhenti di samping sebuah kuburan sederhana
Yang agak jauh dari kuburan lainnya
Dekat situ ada baliho besar tertuliskan, “rakyat melarat, sampah masyarakat”
si anak tersenyum pada (kuburan itu)
sayup terdengar : “ayah, ini kubawakan sepasang baling
baling untukmu,moga kamu tak kesepian lagi.
Ah, aku sebaiknya pergi saja
Pulang ke tubuhku
Tubuh anak itu


Abang tukang mainan adalah larik pertama dari puisi Sepasang baling-baling. Entah mengapa ketika membaca larik tersebut rasanya sangat tidak asing ditelinga saya, padahal puisi Sepasang baling-baling ini baru pertama kali saya baca. Setelah membaca berkali-kali dn mengingat-ingat larik tersebut ternyata larik abang tukang mainan ternyata mirip dengan penggalan lagu anak-anak karya yaitu abang tukang bakso. Larik tersebut membuat saya rasanya ingin kembali ke masa kecil. Larik abang tukang mainan secara tidak langsung menunjukkan sisi “kekanak-kanakkan” sosok Dea Anugrah yang memang masih sangat muda. Ini terlihat dari beberapa judul puisinya yang lain seperti : tanggal 14 bulan ini, sepak bola, bocah belang, gadis manis yang menghiburku dengan cerita paling lucu, dan lain sebagainya. Puisi tersebut bukan semata-mata menunjukkan sosok Dea yang masih remaja, tetapi di dalamnya mengandung pesan-pesan moril ala ABG.
Dalam puisi yang berjudul Sepasang Baling-baling karya Dea Anugrah ini menceritakan tentang kisah kehidupan rakyat kecil yang hidup dan waktunya selalu di manfaatkan untuk mencari sesuap nasi,terlihat pada larik: ia menyapaku/aku mengajaknya beristirahat sejenak/sejenak saja/jujur saja, aku tak tega melihatnya/ tapi ia menolak/ katanya:”anakku brlum makan”/kulihat arloji, jam empat sore.
Larik tersebut menunjukan betapa “kerasnya” kehidupan yang dijalani,oleh abang tukang mainan ini untuk mencari sesuap makanan saja,bahkan tak ada waktu untuk beristirahat sejenak. Yang lebih memprihatinkan lagi ketika orang tersebut meninggal,tempat perkuburannya di berikan nama khusus orang miskin orang pinggiran dan di daerah sekitar situ terdapat baliho besar bertuliskan rakyat melarat,sampah masyarakat.
Ironis rasanya,orang miskin cenderung di selewengkan,dikebawahkan,dianak tirikan,atau didiskriminasikan. Ketika seseorang kembali ke asalnya (meninggal) semuanya sama akan kembali ke tanah (kuburan). Namun di sini penulis menunjukann betapa terdiskriminasinya rakyat atau orang-orang kecil. Bahkan ketika matipun/meninggal,perkuburan orang miskin atau rakyat kecil diberikan nama khusus “orang miskin orang pinggiran”.
Menurut saya hal demikian tidaklah berprikemanusiaan. Bahkan terdapat sebuah baliho besar bertuliskan “rakyat melarat,sampah masyarakat”. Baliho merupakan suatu produk yang menyerupai poster tetapi lebih besar. Sungguh hal yang tidak pantas sebuah baliho di tempat seperti itu. Padahaal masih banyak penempatan baliho-baliho yang tepat seperti dijalan raya misalnya bertulis “Hindarilah Narkoba, para pemuda adalah Aset Negara,”.
Saya rasa hal seperti itu akan lebih bermanfaat bagi Negara ketimbang memasang baliho besar di kompleks perkuburan. Kalau memang harus ada sebuah baliho,mengapa baliho tersebut tidak bertuliskan “kuburan umum” saja,tanpa harus mengkhusus-khususkan tempat/kompleks kuburan bagi orang-orang kecil.
Jika kita melihat tingkat kemiskinan di Indonesia memang cukup tinggi. Prediksi tingkat kemiskinan tahun 2010,BPS:berkisar 14,15%. Jadi, bisa kita bayangkan jika semua kompleks perkuburan orang miskin ditulis “orang miskin orang pinggiran” atau “rakyat melarat, sampah masyarakat”. Betapa banyaknya baliho yang dibutuhkan untuk hal-hal yang menurut saya sangat tidak penting. Atau mungkin jika tempat itu tempat orang-orang “berada” atau orang kaya,balihonya bertuliskan “kompleks perkuburan orang kaya orang terpandang” atau mungkin “rakyat bahagia bunga masyarakat”. Sungguh hal yang lucu jika seperti itu jadinya.
Saya rasa Negara kita benar-benar membutuhkan sosok pemimpin yang tidak hanya bertekad untuk mensejahterakan rakyat,memajukan pendidikan,menggelar bantuan subsidi,mendirikan pusat kesehatan gratis di mana-mana,dan lain sebagainya. Tetapi, wujud nyata dari tekad-tekadnya itu sangat diharapkan, bukan hanya sekedar “air ludah yang bermuncratan”. Negara kita sangat membutuhkan sosok pemimpin yang dekat dengan rakyat dan menyatu dengan rakyat, terlebih bagi rakyat atau orang-orang kecil.
Dalam puisi Sepasang Baling-Baling penulis cenderung melakukan “permainan tokoh” untuk mengecoh pembacanya. Namun, permainan tokoh itulah yang kemudian membuat puisi tersebut menjadi menarik, karena pembaca terkesan penasaran terhadap tokoh anak kecil yang pada bait terakhir dijelaskan bahwa “aku lirik” ingin kembali ke tubuhnya-tubuh anak kecil itu: Ah,aku sebaiknya pergi saja/, Pulang ke tubuhku/, Tubuh anak itu/
Kemudian muncul pertanyaan dibenak saya, mengapa “aku lirik” keluar dari tubuhnya, apakah yang ia cari? Atau tiga larik tersebut, hanya ingin menggambarkan bahwa “aku lirik” ingin seperti anak itu?
Menurut saya, Dea tidak begitu pandai untuk membuat taktik dalam menyembunyikan makna bait terakhir tersebut. Lihatlah baris-baris berikut: abang tukang mainan/ lewat didepanku/ ia belum terlalu tua, mungkin sebaya ayahku. Jelas baris-baris ini, dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Jika ‘anak kecil’ adalah aku lirik maka otomatis ayah aku lirik juga telah meninggal. Namun, mengapa pada baris di atas, penyair membandingkan usia abang tukang mainan yang masih hidup dengan usia ayahnya yang sudah meninggal? Bukankah itu tidak logis? Atau hal tersebut menunjukan bahwa bait terakhir yang menjadi klimaks cerita, tidak direncanakan sebelumnya untuk seperti itu? Atau ini hanya merupakan kekurangtelitian Dea Anugrah?
Menurut saya, Dea Anugrah dalam puisi sepasang baling-baling berhasil menghasilkan cerita yang apik dengan tema, tokoh, alur, dan latar yang menarik. Tapi, membaca cerita tersebut, membuat saya hampir-hampir lupa bahwa teks tersebut adalah sebuah puisi. Pemilihan kata yang dipilih oleh penyair dari bait pertama hingga bait ke enam menurut saya sangat bertele-tele. Sehingga, saya merasa nyawa puisinya hanya pada bait terakhir saja.
Pada beberapa baris ada semacam baris pengikut yang tegas yang menurut saya cukup membari efek “slow motion” pada puisi ini misalnya: aku mengajaknya beristirahat sejenak/ sejenak saja/. . .aku kehilangan sepasang baling-baling kesayanganku/ lebih tepatnya kukasihkan ke orang lain/ seorang anak kecil.
Namun, terlepas dari semua itu, Dea Anugrah dalam puisinya Sepasang Baling-Baling mampu menghadirkan realitas sosial dengan bahasa yang sederhana, namun mampu mengetuk kesadaran para pembacanya terutama generasi muda. Dea melukiskan tentang kesahajaan abang tukang mainan, kebaikan aku lirik, dan kemiskinan anak kecil yang secara umum mewakili keadaan sosial masyarakat Indonesia.



0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Zona Kendari

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign


Universitas Haluoleo

Kedai Estetik : Berbahasa dengan jujur.

merupakan ruang publikasi Mahasiswa | Program Mata Kuliah kajian Puisi tahun 2010/2011 | Program Studi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan | Universitas Haluoleo | Kendari Sulawesi Tenggara Indonesia.

Recent Comments kedai estetik